Studi Etnografi Suku bangsa Jawa

Orang Jawa sering menyebut diriya Wong Jowo atau Tiang Jawi. Jumlah populasinya paling banyak dibandingkan dengan suku bangsa lainnya di Indonesia.
Daerah kebudayaan Jawa meliputi seluruh bagian tengah dan timur dari pulau Jawa.
Daerah yang menjadi orientasi kebudayaan Jawa (kejawen) adalah Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang dan Kediri. Dari 7 (tujuh) daerah itu yang dianggap menjadi pusat kebudayaan Jawa adalah Yogyakarta dan Surakarta, kedua daerah ini adalah bekas daerah kerajaan Mataram yang pecah pada tahun 1755. Pada masa ini suku bangsa Jawa telah menyebar keberbagai daerah di Indonesia, terutama sebagai akibat dari program transmigrasi. Kemungkinan besar kita dapat menemukan suku bangsa di semua provinsi Indonesia. Bahkan penyebaran suku bangsa sampai ke daerah Suriname (Amerika Sekatan), Afrika Selatan dan Haiti di Lautan Teduh.
1) Bahasa, menurut Koentjaraningrat (1999), pada waktu mengucapkan bahasa Jawa, seseorang harus memperhatikan dan membeda-bedakan keadaan orang yang diajak berbicara atau yang sedang dibicarakan, berdasarkan usia dan status sosialnya. Ditinjau dari tingkatannya, bahasa Jawa terdiri dari bahasa jawa Ngoko dan bahasa jawa Krama.
Bahasa Jawa Ngoko dipakai untuk orang yang sudah dikenal akrab, dan terhadap orang yang lebih muda usianya serta lebih rendah derajat atau status sosialnya. Bahasa Jawa Krama dipergunakan untuk bicara dengan orang yang belum dikenal akrab, tetapi yang sebaya dalam umur maupun derajat, dan juga terhadap orang yang lebih tinggi umur serta status sosialnya. Dari kedua macam derajat bahasa ini, timbul berbagai variasi dan kombinasi dalam bahasa Jawa, yang terletak diantara bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa Krama, yaitu bahasa Jawa Madya Ngoko, bahasa Jawa Madyaantara dan Bahasa Jawa Madya Krama. Jenis lainnya dari bahasa Jawa adalah bahasa Krama Inggil, terdiri dari 300 kata-kata yang dipakai untuk menyebut nama-nama anggota badan, aktivitas, benda milik, sifat-sifat dan emosi-emosi dari orang-orang yang lebih tua umur atau lebih tinggi derajat sosial.
Jenis lainnya lagi adalah Kedaton (atau bahasa Bagongan) yang khusus dipergunakan di kalangan istana. Jenis lainnya adalah bahasa Jawa Krama Desa atau bahasa orang-orang di desa-desa; dan akhirnya bahasa Jawa Kasar yakni salah satu macam bahasa daerah yang diucapkan oleh orang-orang yang sedang dalam keadaan marah atau mengumpat seseorang.
2) Sistem mata pencaharian, mata pencaharian suku bangsa Jawa adalah bertani. Suku bangsa Jawa yang tinggal di pegunungan menggarap dan mengerjakan tegalan (pertanian dalam bentuk kebun kering). Suku bangsa yang tinggal di dataran-dataran rendah mengolah tanah- tanah pertanian dalam bentuk sawah. Jenis tanaman yang mereka tanam selain padi adalah berbagai jenis tanaman palawija (ketela pohon, jagung, ketela rambat, kedelai, kacang tanah, kacang tunggak,gude, dan lain-lain), baik sebagai tanaman utama atau sebagai tanaman penyela diantara musim yang tepat untuk menanam padi.
Banyak juga dari suku bangsa Jawa yang bermatapencaharian sebagai pegawai, tukang, pedang dan pengrajin.
3) Sistem kekerabatan, suku bangsa Jawa memiliki beberapa aturan mengenai perkawinan. Adat istiadat mereka tidak membolehkan perkawinan antara saudara sekandung dan pancer lanang (yaitu anak dari dua orang saudara sekandung laki-laki; apabila mereka itu adalah misan dan apabila laki-laki lebih muda menurut ibunya daripada pihak wanita). Bila tidak termasuk pada hubungan kekerabatan, itu mereka membolehkan perkawinan. Suku bangsa Jawa menerapkan prinsip keturunan bilateral dalam menentukan kekerabatan. Semua kakak laki-laki serta kakak wanita ayah dan ibu beserta isteri-isteri maupun suami-suami masing-masing disebut siwa atau uwa. Adik- adik dari ayah dan ibu disebut paman (adik laki-laki) dan bibi (adik perempuan).
4) Sistem kemasyarakatan, suku bangsa Jawa mengenal kelurahan (desa) sebagai kesatuan wilayah tempat tinggal. Kelurahan dikepalai oleh seorang lurah (petinggi, bekel, glondong) yang dipilih oleh rakyat lurah yang bersangkutan secara demokratis secara berkala. Lurah dibantu oleh beberapa pembantunya dalam menjalankan tugas-tugasnya, mereka semua disebut dengan pamong desa. Tugas pokok pamong desa adalah mensejahterakan rakyat desa dan memelihara ketertiban desa. Diatas kelurahan terdapat satuan daerah administratif yang disebut dengan kecamatan (terdiri dari 15 sampai dengan 25 kelurahan), kecamatan dipimpin oleh seorang camat. Tiang Jawa membedakan orang-orang dalam masyarakatnya menjadi priyayi dan wong cilik. Priyayi adalah lapisan masyarakat atas, terdiri dari pegawai negeri dan kaum terpelajar. Wong cilik adalah lapisan masyarakat vawah, terdiri dari petani, tukang dan pekerja kasar lainnya. Berdasarkan tinjauan agama, Tiang Jawa mengelompokkan dirinya menjadi santri dan kejawen. Santri adalah orang Jawa yang beragama Islam dan menerapkan ajaran agama Islam. Kejawen adalah orang yang beragama Islam tetapi tidak sepetuh Santri dalam menerapkan ajaran agama Islam.
5) Agama dan sistem religi, mayoritas suku jawa menganut agama Islam. Sebagian kecil dari antara mereka ada yang menganut agama Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Tiang Jawa yang menganut agama Islam dikelompokkan menjadi dua, yaitu santri dan kejawen. Santri adalah orang yang menganut agama Islam dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang menganut Islam Kejawen, walaupun tidak menjalankan salat, puasa serta tidak bercita-cita naik haji, tetapi mereka percaya kepada ajaran keimanan agama Islam.
Tuhan mereka sebut Gusti Allah dan Nabi Muhammad adalah Kangjeng Nabi. Disamping itu mereka juga membayar zakat. Pola pikir Tiang Jawa penganut agama Islam Kejawen adalah bahwa hidup telah ada yang mengatur, oleh karena itu mereka biasanya sangat percaya dan memasrahkan diri pada takdir, sehingga sikap pasrah (nerima) sangat tampak pada kehidupan mereka sehari-hari.
6) Agama dan sistem religi, orang-orang suku bangsa Jawa percaya juga kepada adanya satu kekuatan yang melebihi segala kekuatan yang ada dimana saja, yang pernah ada, mereka menyebutnya kasakten.
Diantara mereka masih ada yang percaya kepada arwah atau ruh leluhur, dan makhluk-makhluk halus seperti misalnya memedi, lelembut, tuyul, demit serta jin dan lainnya yang menempati alam sekitar tempat tinggal mereka. Salah satu fungsi makhluk halus bagi kehidupan berdasarkan kepercayaan mereka adalah membantu mendatangkan kesuksesan, kebahagiaan, ketenteraman ataupun keselamatan. Fungsi lainnya dari makhluk halus dipercaya juga dapat mendatangkan gangguan pikiran, gangguan kesehatan bahkan kematian.
Koentjaraningrat (1999) mengelompokkan suku bangsa Jawa pada tipe masyarakat pedesaan berdasarkan bercocok tanam di sawah dengan padi sebagai tanaman pokoknya. Sistem dasar kemasyarakatannya berupa komuniti petani dengan differensiasi dan stratifikasi sosial yang agak kompleks. Masyarakat kota yang menjadi arah orientasinya itu mewujudkan suatu peradaban bekas kerajaan pertanian bercampur dengan peradaban kepegawaian yang dibawa oleh sistem pemerintahan kolonial. Semua gelombang pengaruh kebudaan asing dialami.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer