Studi Etnografi Suku Bangsa Bgu, Irian Jaya

Orang Bgu disebut juga orang Bonggo. Orang luar menyebut mereka sebagai orang Bonggo, tetapi mereka sendiri menyebut diri sebagai orang Bgu.
Mendiami daerah sekitar muara sungai Wiruwai, lebih kurang 120 km sebelah barat kota Jayapura, propinsi Irian Jaya.
Daerah ini berawa-rawa dan dialiri oleh sungai-sungai kecil yang berasal dari pegunungan Irie dan Siduarsi. Wilayah mereka terletak di sebalah timur wilayah orang Sarmi dan sebelah barat orang Demta-Betaf. Orang Bgu mendiami empat buah desa di kecamatan Bonggo, kabupaten Jayapura, yaitu; Taronta, Tarawani, Armopa Lama (Bonggo) dan Amopa Baru (Zulyani Hidayah, 1999).
1) Sistem mata pencaharian, yang terpenting dari orang Bgu adalah meramu sagu (pom). Hutan-hutan sagu yang sekarang berada pada kira-kira tiga sampai lima kilometer jauhnya dari desa-desa terbagi ke dalam wilayah-wilayah dengan batas-batas yang tegas, yang menjadi hak kelompok-kelompok kekerabatan yang tertentu. Orang Bgu berhak mengambil sagu diwilayah yang diwarisinya dari ayahnya dan di wilayah saudara pria ibunya (yang disebut olehnya wausu), kadang-kadang juga diwilayah saudara-saudara pria dari ibu dan wausu tadi serta di wilayah isterinya (Koentjaraningrat, 1999).
2) Sistem kemasyarakatan dapat kita lihat pada sistem kekerabatannya. Orang Bgu sangat mementingkan status keluarga inti yang cenderung memilih pola pemukiman yang utrokal sifatnya. Bentuk keluarga luas hampir tidak dikenal. Adat mereka mengijinkan seseorang lelaki mempunyai beberapa orang istri, masuknya pengaruh agama Nasrani perkawinan mereka cenderung monogami. Mas kawin yang mereka sebut krae amat penting artinya dalam hubungan kekerabatan, terdiri dari berbagai barang perhiasan, seperti: cincin yang terbuat dari kulit kerang (sebkos), kalung yang terbuat dari dari untaian merjan (mote), kalung yang dibuat dari untaian gigi anjing (kdarf), sabuk yang dibuat dari anyaman merjan (bitem), gelang dari merjan (mak) dan gelang kaki yang terbuat dari untaian tali-tali (weikoki). Selain itu harus pula ditambah dengan pakaian, bahan pakaian, alat-alat dapur dan wadah-wadah. Kalau mas kawin tetap belum dibayar sampai anak lahir, maka anak itu diadopsi oleh kerabat pihak ibu, cara ini disebut teiya-mekyo, upacaranya disebut wendedka (Zulyani Hidayah, 1999).
3) Agama dan sistem religi, Pada saat ini pada umumnya orang Bgu menganut agama Kristen. Jejak-jejak religi tradisional orang Bgu dapat ditemukan pada kepercayaan mereka. Orang Bgu percaya kepada suatu jiwa kedua yang mereka sebut tnikenya, tetapi keterangan- keterangan informan tentang hal itu terlampau kacau sehingga sukar untuk mendapat gambaran yang tegas mengenai konsep itu. Hanya pada istilah kenya yang berarti anak, dapat disimpulkan bahwa orang Bgu membayangkan jiwa ini sebagai anak kecil dalam tubuh. Mereka juga percaya terhadap roh orang meninggal, roh baik dan jahat yang ada di alam sekitar tempat tinggal manusia yang disebut dengan sepro, selain itu ada juga roh-roh jahat seperti buaya jadian, jin buaya, jin ular naga, hantu kaya (segitemtua) yang mendapat kedudukan khusus dalam dunia hanti-hanti orang Bgu (Koentjaraningrat, 1999).
Koentjaraningrat (1999) mengelompokkan suku bangsa Bgu kepada tipe masyarakat berdasarkan sistem berkebun yang amat sederhana, dengan keladi dan ubi jalar sebagai tanaman pokoknya dalam kombinasi dengan berburu dan meramu; penanaman padi tak dibiasakan; sistem dasar kemasyarakatnnya berupa desa terpencil tanpa differensiasi dan stratifikasi yang berarti, gelombang pengaruh kebudayaan menanam padi, kebudayaan perunggu, kebudayaan Hindu dan agama Islam tidak dialami; isolasi dibuka oleh Zending dan Missionaris.

Komentar

Postingan Populer