Studi Etnografi Minangkabau

Suku bangsa Minangkabau menempati daratan tengah Pulau Sumatera yang menjadi propinsi Sumatera Barat. Daerah asal kebudayaan Minangkabau kira-kiea seluas daerah propinsi Sumatera Barat sekarang
ini, dengan dikurangi daerah kepulauan Mentawai. Menurut mereka,wilayah kebudayaan itu dipertentangkan menjadi dua, yaitu antara darek (darat) dan pasisie (pesisir) atau rantau. Berkembang anggapan bahwa orang pasisie berasal dari darat. Dengan sendirinya daerah asal kebudayaan Mingkabau adalah daerah darat. Nenek moyang suku bangsa mingkabau berasal dari suatu tempat yang disebut dengan Par(h)iangan, Padang Panjang. Dari Pariangan, nenek moyang mereka berpindah dan menyebar ke daerah kebudayaan sekarang ini.
1) Bahasa, ibu Minangkabau adalah bahasa Minangkabau berlaku bagi semua suku bangsa Minangkabau. Bahasa ini memiliki hubungan yang erat dengan bahasa Melayu. Menurut penelitian ilmu bahasa, bahasa Minangkabau boleh merupakan sebuah bahasa tersendiri, tetapi boleh juga dianggap sebagai sebuah dialek saja dari bahasa Melayu. Kata-kata dalam bahasa Melayu, umumnya dapat dicarikan kesamaannya dalam bahasa Minangkabau dengan jalan merobah bunyi-bunyi tertentu saja. Perhatikan contoh-contoh berikut ini: jua ‘jual’, alui ‘halus’, taba ‘tebal’, lapa ‘lapar’, saba ‘sabar’, takuik ‘takut’, dan sebagainya. Di samping itu banyak kata-kata yang sama betul antara Bahasa Melayu dan Minangkabau (Koentjaraningrat, 1999).
2) Sistem mata pencaharian utama, suku bangsa Mingkabau adalah bertanam padi di sawah berteras-teras dengan sistem irigasi tradisional atau dengan sistem tadah hujan. Sebagian ada pula yang bertanam padi di ladang. Tanaman pertanian lain adalah sayur mayur, kopi,
cengkeh, kulit manis, kelapa, buah-buahan dan sebagainya. Sebagian agi bekerja menangkap ikan di sungai dan laut atau beternak bermacam-macam hewan. Pada masa sekarang orang minangkabau banyak yang menjadi pedagang, pegawai dan ahli berbagai bidang.
Jumlah populasinya sulit untuk ditentukan karena tersebar di berbagai daerah Indonesia. Diperkirakan setidaknya ada enam juta jiwa orang Minangkabau (Zulyani Hidayah, 1999).
3) Sistem kekerabatan, suku bangsa Minangkabau menggunakan sistem matrilineal dalam menarik garis keturunan Ibu (matrilineal). Sistem perkawinannyanya adalah bersifat eksogami. Ibu lebih dominan dalam kehidupan berkeluarga bila dibandingkan dengan bapak.
Dominasi ibu dijalankan oleh saudara laki-lakinya. Suami dalam lingkungan rumah ieterinya disebut sumando, dalam lingkungan rumah ibunya ia disebut tungganai, yaitu orang yang bertanggung jawab untuk saudara perempuan dan kemenakannya. Seorang ayah dalam keluarga Minangkabau termasuk keluarga lain dari keluarga isteri dan anaknya, sama halnya dengan seorang anak dari seorang laki-laki akan termasuk keluarga lain dari ayahnya. Kepentingan suatu keluarga diurus oleh seorang laki-laki dewasa dari keluarga itu yang bertindak sebagai niniek mamak bagi keluarga. Mamak berarti saudara laki-laki ibu. Keluarga luas orang Minangkabau yang terbatas berdasarkan keturunan perempuan disebut paruik atau saparuik (satu perut), sering juga disebut dengan kaum. Gabungan dari beberapa kaum yang berasal dari cikal bakal yang sama adalah suku.
4) Sistem kemasyarakatan, kesatuan tempat tinggal terkecil disebut dengan desa yang terdiri dari daerah nagari dan daerah taratak. Nagari adalah daerah kediaman utama dan dianggap pusat dari sebuah desa.
Taratak adalah daerah hutan dan ladang. Orang yang diam di taratak adalah orang yang bertugas untuk menjaga dan mengerjakan dan mengerajakan tanah yang ada di situ dan biasanya tanah itu bukan miliknya. Di setiap nagari pada desa terdapat sebuah mesjid, balai adat dan tempat untuk untuk pasar sekali atau dua kali seminggu, dan menjadi tempat tinggal sebagian besar penduduk desa yang bersangkutan. Desa dikepalai oleh seorang kapalo nagari (kepala desa) yang dipilih secara demokratis oleh penduduk. Unsur-unsur kepemimpinan dalam suatu desa terdapat penghulu kaum, diatanya terdapat penghulu suku, lalu ditingkat nagari ada penghulu andiko (penghulu utama). Keputusan adat dibuat oleh para penghulu ini dengan mendapat dukungan dari ninik mamak, cadiak pandai (orang pintar) dan alim ulama, ketiga unsur pendukung ini disebut dengan tungku tigo sajarangan.
5) Kesenian, Minangkabau amat banyak mengambil gagasan dari lingkungan alamnya. Mereka mengembangkan motif-motif ukiran di rumah gadang dari bentuk tumbuh-tumbuhan. Motif binatang dan manusia hampir tidak ada atau tidak ditemukan lagi, mungkin karena pengaruh kebudayaan Islam. Seni tarinya jyga mengambil gagasan dari dinamika alam sekitar yang juga mempengaruhi seni bela dirinya(silat). Seni tari dan silat ini banyak mengandung unsur magis dan
gerakan akrobatik. Mereka mengembangkan suatu teater rakyat yang disebut randai dan tarian yang mempertontonkan kekebalan (dabus).
Seni musiknya cukup beragam, seperti dendang, dikia (zikir), indang, salawat, berzanji dan ratok. Alat musik tradisionalnya juga banyak diambil dari alam, seperti saluang (bambu tiup), bansi (seruling bambu), pupuik (seruling dari batang padi dan daun enau), rebana,gendang, adok, doal dan sebagainya (Zulyani Hadayah, 1999).
6) Agama dan sistem religi, suku bangsa Minangkabau menganut agama Islam. Mereka tidak mengenal kepercayaan lain kecuali agama Islam.
Juga tidak ada upacara ritual yang bersifak khas dan unik, kecuali upacara-upacara yang diajarkan Islam, seperti tabuik, kitan dan khatam, mengaju dan upacara memperingati orang mati. Tabuik adalah upacara memperingati kematian Hasan dan Husain di Padang Karabela. Upacara kitan, khatam dan mengaji Qur’an selalu dilakukan berhubungan dengan lingkaran hidup individu, seperti turun mandi (menyentuhkan bayi dengan tanah untuk pertamakalinya), upacara kekah (memotong rambut bayi untuk pertama kalinya). Meskipun demikian, dalam keadaan yang luar bias, ada juga orang Minangkabau yang percaya terhadap hal-hal yang tidak diajarkan oleh Islam. Ada yang percaya terhadap hantu-hantu yang mendatangkan bencana dan penyakit kepada manusia, untuk menolak hantu-hantu itu, mereka datang ke dukun untuk meminta pertolongannya. Ada juga orang Minangkabau yang percaya adanya orang-orang yang memiliki kekuatan gaib tertentu yang dapat merugikan atau melindungi mereka setiap niat dan perbuatan jahat orang lain.
Koentjaraningrat (1999) mengklasifikasikan kebudayaan suku bangsa Minangkabau ke dalam tipe masyarakat pedesaan bercocok tanam di ladang atau di sawah dengan padi sebagai tanaman pokoknya. Sistem dasar kemasyarakatannya berupa desa komuniti petani dengan differensiasi dan stratifikasi sosial yang sedang.
Masyarakat kota yang menjadi arah orientasinya mewujudkan suatu peradaban bekas kerajaan berdagang dengan pengaruh yang kuat dari agama Islam, bercampur dengan suatu peradaban kepegawaian yang dibawa oleh sistem pemerintah kolonial, gelombang pengaruh kebudayaan Hindu tidak dialami atau hanya sedemikian kecilnya sehingga terhapus oleh pengaruh agama Islam.

Komentar

Postingan Populer