Jenis Kesenian di Indonesia

Jenis Kesenian di Indonesia
1. Seni Rupa
Seni rupa adalah hasil seni yang berupa visual yang diciptakan oleh manusia dalam berbagai media. Di Indonesia bentuk seni rupa sangat beragam sesuai dengan kebhinekaan masyarakatnya. Secara umum bentuk seni rupa yang di Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Seni Lukis
Seni lukis adalah suatu hasil seni rupa dua dimensi yang dilakukan dengan menciptakan suatu keadaan atau khayalan ke bidang datar melalui garis-garis dan warna.
Perkembangan seni lukis sejalan dengan tingkat peradaban umat manusia. Semakin maju tingkat peradaban manusia maka semakin maju atau baik pula tingkat (kualitas) lukis. Seni lukis telah mengalami evolusi secara terus menerus, dari bentuk sederhana ke bentuk yang semakin baik dari waktu ke waktu. Dari kualitas seni lukis yang rendah ke kualitas yang tinggi. Dan akhirnya, seni lukis sampai pada bentuk dan kualitas yang sangat sempurna (maju) seperti karya-karya lukis yang dihasilkan oleh seniman-seniman pada abad modern ini.
Tema seni lukis pun bergerak seiring dengan kemajuan peradaban manusia yang pada akhirnya menyebabkan perubahan tema maupun obyek-obyek lukisan. Pada tipe masyarakat berburu dan meramu, tema-tema lukisan didominasi oleh masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan berburu dan meramu. Contohnya, lukisan mengenai binatang buruan, lukisan mengenai orang yang sedang berburu, dan sebagainya.
Pada tipe masyarakat bercocok tanam, tema-tema seni lukis didominasi oleh peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan bercocok tanam.
Contohnya, lukisan mengenai hamparan padi yang sedang menguning, pesta panen, dan sebagainya. Pada tipe masyarakat kota dan metropolitan, tema-tema seni lukis didominasi oleh kehidupan kota dan metropolitan.
Contohnya, lukisan mengenai kehidupan kota yang sangat sibuk. Lukisan mengenai gedung-gedung bertingkat pencakar langit, dan sebagainya.
Seni lukis tumbuh dan berkembang menurut zamannya. Pada zaman Hindu-Budha, seni lukis mengekspresikan tema-tema yang berhubungan dengan nilai-nilai yang dianut oleh Hindu-Budha. Pada zaman Islam (madya), seni lukis mengekspresikan tema-tema mengenai nilai-nilai Islam.
Demikian seterusnya hingga zaman baru dan zaman modern, seni lukis mengekspresikan nilai-nilai zamannya. Perkembangan seni lukis tidak hanya sebatas tema saja, tetapi juga menyentuh hingga bahan-bahan lukisan yang digunakan.
Dari hasil perkembangan seni lukis dari dahulu hingga sekarang, manusia mengenal berbagai jenis seni lukis. Menurut bahan dan teknik pembuatannya, seni lukis dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu :
1) Lukisan cat minyak
2) Lukisan cat air
3) Lukisan orang
4) Lukisan kapur berwarna
5) Lukisan Al fresco atau fresco
6) Lukisan tempera
7) Lukisan encaustis
8) Lukisan mozaik
9) Lukisan azalejo.
Menurut alirannya, seni lukis dibedakan menjadi lukisan yang beraliran :
1) Naturalis
2) Realis
3) Impresionis
4) Ekspresionis
5) Kubisme
6) Futuristis
7) Surealis
8) Bebas (abstrak).
b. Seni Patung
Menurut William A. Haviland (1999), dalam arti yang seluas-luasnya seni patung adalah seni berdimensi tiga. Setiap produk imajinasi kreatif yang tiga dimensi dapat disebut sebuah patung. Sebuah pisau upacara, belanga yang berhias, kecapi buatan tangan, gapura hias, monumen kuburan, atau bangunan umum mengandung pokok-pokok artistik yang sama dengan patung.
Indonesia memiliki contoh patung yang beragam. Sumber sebagian besar patung-patung itu diperkirakan berasal dari masa dan tradisi Megalitik. Pada umumnya patung diwujudkan dalam relief lembut, tangan yang melengkung ke daerah perut seperti untuk melindungi sesuatu. Wajah hanya terdiri dari atas hidung dan mata, dengan mulut yang dihilangkan.
Contoh patung seperti itu ditemukan di Lembah Bada Sulawesi Selatan, Kalimantan dan Nias. Sampai saat ini belum diketahui apa tujuan semula pembuatan patung ini, diperkirakan dibuat pada akhir abad ke –14. (Disarikan dari Indonesian Heritage, jilid 7).
Seiring dengan masuk dan diterimanya agama Hindu-Budha, terbawa pula unsur-unsur kebudayaan India yang sangat mempengaruhi seni patung pada masa itu. Bentuk patung didominasi oleh pengaruh India berupa garis lengkung dan bidang cembung yang menggambarkan alam semesta yang berombak dan melambai. Contohnya, jenis patung yang dapat ditemukan pada patung Hindu Wisnu di Cibuaya, Jawa Barat.
Patung-patung masa ini sangat kental dengan ragam hias Hindu Budha, seperti padma, swastika dan kinnara. Padma melambangkan tempat duduk dewa tertinggi, terbentuknya alam semesta, kelahiran Budha, kebenaran utama, tempat kekuatan hayati dan suci serta rasa kasih.
Swastika melambangkan daya dan keselarasan jagad raya. Kinnara melambangkan makhluk manusia setengah burung, yang merupakan anggota dari kelompok dewa penghubi langit. (Disarikan dari Indonesian Heritage, jilid 7).
Penyebaran dan masuknya agama Islam di Indonesia membawa pengaruh yang sangat besar pada seni rupa Indonesia. Pada masa ini, perkembangan seni beralih ke wayang golek, wayang kulit, wayang beber, dan seni kaligrafi. Berbagai ragam jenis seni itu digunakan sebagai sarana untuk menyebarkan agama Islam dengan tema-tema yang kental dengan nilai-nilai Islam. Kaligrafi Islam di Indonesia menjadi unsur penting dalam seni hias Islam. Kaligrafi terdapat pada benda-benda upacara yang ada di istana-istana tua, seperti belati, tombak, pedang dan panji-panji. Kaligrafi sering juga tampak pada lukisan kaca dan dan ukiran kayu yang membentuk beberapa unsur hiasan istana.
Sepertinya budaya China dan Eropa tidak begitu mempengaruhi perkembangan seni patung di Indonesia. Sementara pada seni hias Indonesia ditemui juga adanya pengaruh budaya China. Pada saat ini seni patung dan seni hias berkembang sesuai dengan selera masyarakat yang sangat beraneka ragam. Bahkan seniman patung dan seniman hias adalah orang yang menjadikan seni patung dan hias sebagai mata pencahariannya. Pada saat ini hampir di setiap kota dapat ditemukan patung sebagai simbol kota itu, di lain pihak seni hias juga berkembang pada batik dan berbagai perabotan rumah tangga lainnya, sehingga menjadi bahan komiditi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
c. Seni Arsitektur
Seperti halnya dengan seni lainnya, seni arsitektur atau bangunan juga berkembang sejalan dengan tingkat perkembangan peradaban umat manusia. Pada zaman batu, seni arsitektur yang berkembang pada umumnya adalah seni arsitektur yang terbuat (berasal) dari batu. Pada zaman Megalithikum Tua, berkembang seni arsitektur bangunan tua-tua besar, dengan sifat khas kasar dan masif. Contoh seni arsitektur dari zaman Megalithikum diantaranya adalah menhir, dolmen, serta punden berundak. Bergerak menuju masa Megalitikum Muda, perkembangan seni arsitektur bersifat lebih halus, contohnya, adalah bangunan-bangunan sarchovagus (keranda jenasah), kubur batu, serta sejumlah arca-arca megalitik. Seni arsitektur pada candi-candi berkembang pada masa Hindu-Budha, sebagai hasil perpaduan pengaruh India dan Indonesia asli. Contohnya, adalah Candi Borobudur di Jawa Tengah, serta candi Jago di Jawa Timur, yang mana keduanya disusun dalam bentuk merebah seperti punden berundak. Corak dan gaya seni arsitektur gaya Hindu-Budha ini terus bertahan pada masa Islam. Buktinya adalah bangunan Masjid dibentuk dengan model atap tumpang (bertingkat) seperti bentuk Meru pada candi-candi Hindu, sedangkan dalam agama Hindu Meru adalah tempat bersemayamnya para dewa; Masjid Agung Cirebon, Masjid Katangka di Sulawesi, Masjid Angke di Jakarta, Masjid Agung Demak, serta yang bertingkat lima adalah Masjid Agung Banten.
Perkembangan selanjutnya seni arsitektur hingga saat ini sangat didominasi dan dipengaruhi oleh arsitektur Eropa (Barat). Kehadiran arsitektur barat di Indonesia bermula dari kehadiran bangsa Belanda di Indonesia yang kemudian membawa gaya-gaya bangunan Barat ke Indonesia dan memadukannya dengan arsitektur tradisional Indonesia.
Pengaruh arsitektur Barat, khususnya Belanda dapat ditemukan pada berbagai bangunan bersejarah dan rumah di Indonesia. Contohnya, adalah ubin, jendela kaca timah, dan atap kaca serta teralis besi yang ditempa yang dipadukan dengan arsitektur tradisional.
2. Seni Sastra
Sastra berkembang mengikuti jiwa masyarakat menurut jamannya. Jejak seni sastra dapat ditelusuri jauh ke masa lalu. Dalam kehidupan manusia ada banyak karya sastra, diantaranya adalah cerpen, novel, roman, esai, syair, sajak, dan puisi. Karya sastra pada hakekatnya merupakan perwujudan pengalaman sastrawan atau pujangga yang diungkapkan dengan jujur, terus terang, sungguh-sungguh dan penuh daya imajinasi serta dengan bahasa yang khas. Karakteristik itu menyebabkan pengalaman-pengalaman yang diungkapkan dalam karya sastra menjadi hidup dan memikat hati. Menurut Edi Sedyawati (2006), seni sastra yang sudah berhasil diidentifikasi sampai saat ini belum sebanyak suku bangsa Indonesia.
Indonesia memiliki karya sastra yang sangat banyak, tersebar dalam bahasa Jawa Kuno, Bali dan Indonesia. Karya-karya sastra Indonesia hidup dalam tradisi, agama dan seni. Dari semua sastra daerah Indonesia, sastra Bali memperoleh perhatian istimewa karena berisi jejak-jejak hubungan penganut Tantrisme Hindu-Budha Jawa dan India dengan orang Islam dari Jawa, khususnya Blambangan, orang Sasak (Lombok), dan Bugis (Sulawesi), serta orang Belanda. Interaksi itu diperkirakan mulai terjadi pada abad ke – 16. Kesusastraan Bali berisi teks sastra kuno yang dikarang di Jawa berdasarkan pada cerita kepahlawanan India, Ramayana dan Mahabharata. Pada abad ke – 10 karya sastra yang berhubungan dengan agama dan sejarah dibuat di Jawa dan dialihkan ke Bali pada abad ke –16.
Mulai abad ke-16, orang Bali menciptakan sastra mereka sendiri. Temannya masih tetap mengacu pada karya sastra Jawa Kuno, tetapi baru mulai abad ke-18, penggunaan bahasa Bali dalam karya sastra mulai berkembang.
Dan sejak tahun 1945, terutama setelah Indonesia merdeka, bahasa Indonesia digunakan secara luas dalam karya sastra, seperti novel, cerita pendek, dan puisi. Pada umumnya karya sastra dapat dikelompokkan menjadi prosa dan puisi. (Disarikan dari Indonesian Heritage, jilid 10).
Abdullah bin Abdulkadir Munsyi oleh para ahli sastra dianggap sebagai pelopor perintis kesusasteraan Melayu baru. Masa itu merupakan masa peralihan sastra Melayu ke sastra Indonesia. Terbukti setelah itu banyak karya sastra bangsa Indonesia diterbitkan oleh bangsa Indonesia sendiri, dalam hal ini Balai Pustaka. Maka Pujangga yang hidup setelah Abdullah bin Abdulkadir Munsyi disebut Angkatan Balai Pustaka. Bahasa yang dipakai adalah bahasa Indonesia meskipun strukturnya tidak sama dengan struktur bangsa Indonesia yang dipakai sekarang (Yandianto, 2004).
a. Prosa
Karya prosa pada awalnya bersifat informatif dan menjadi buku pegangan dalam mempelajari agama. Karya prosa tradisional berisi ungkapan-ungkapan suci, tata cara keagamaan, silsilah kitab undang-undang, peraturan desa, perbintangan, penanggalan, ilmu gaib, adu ayam, serta cara memelihara kuda dan merpati. Karya sastra tradisional ditulis pada naskah daun tar, dengan maksud peruntukan dibaca oleh kelompok tertentu, tidak untuk kaum awam. Bahasa yang digunakan pun berbeda.
Karya sastra tentang agama dan tata cara keagamaan ditulis dalam bahasa Jawa Kuna yang sukar dengan bahasa sangsekerta yang hanya dimengerti oleh sekelompok kecil anggota masyarakat. Karya sastra di luar itu ditulis dalam bahasa Jawa kuna yang tidak rumit, seringkali dicampur dengan bahasa Bali, yang bisa dimengerti oleh kebanyakan orang.
Karya-karya prosa pada zaman Balai Pustaka sampai sekarang terus lahir melalui pujangga-pujangga Indonesia menurut zamannya.
Diantaranya adalah Marah Rusli dengan Siti Nurbaya, Nur Sutan Iskandar dengan Apa Dayaku Karena Aku Perempuan, Nur Sutan Iskandar dengan cinta tanah air, dan sebagainya. Tema-tema yang diusung oleh prosa masa ini berkisar cinta anak manusia, kebijaksanaan orang tua, nilai-nilai kejujuran dan kebenaran, pengorbanan dan kematian. Dalam tema-tema itu tercuat harapan dan impian rakyat Indonesia tentang kehidupan yang lebih baik. Hal ini tidaklah mengherankan karena konteks sosial pada masa itu adalah kehidupan dalam penjajahan dan penderitaan.
b. Puisi
Pada masa sastra Melayu, puisi Indonesia berawal mula dari usaha-usaha untuk menerjemahkan syair-syair India ke dalam Bahasa Jawa dan Bali atas permintaan Raja, Pangeran dan anggota kerajaan lainnya yang hidup pada masa itu. Pokok bahasan puisi berkisar pada tema kepahlawanan India. Seiring dengan pergerakan waktu, orang Jawa dan Bali mulai menciptakan puisinya sendiri. Kisahnya bercerita mengenai tema cinta, dongeng binatang, dan cerita yang mengisahkan kehidupan istana kerajaan.
Pada masa Balai Pustaka, Indonesia memiliki pujangga-pujangga yang melahirkan karya sastra berupa puisi yang sangat fenomenal dan menjadi acuan hingga saat ini. Pujangga itu diantaranya adalah Amir Hamzah, Muh. Yamin, JE. Tatengkeng, Chairil Anwar, Dodong Jiwapraja, dan ajip Rosidi. Tema-tema yang diusung puisi pada masa ini adalah keindahan alam, hasrat untuk merdeka, dan perjuangan.
3. Seni Pertunjukan
Menurut Edi Sedyawati (2006), jejak-jejak seni pertunjukan Indonesia mulai ditemukan pada zaman prasejarah akhir, terutama pada zaman Perunggu – Besi. Buktinya adalah ditemukannya beberapa logam hasil zaman itu berisi sejumlah penggambaran mengenai orang-orang menari dengan mengenakan hiasan kepala dengan bulu-bulu panjang serta topeng. Hal ini diperkuat oleh lukisan-lukisan zaman ini yang banyak menggambarkan orang menari. Seni pertunjukan Indonesia mengalami perkembangan pada masa Hindu-Budha. Sumber-sumber tertulis menunjukkan bahwa relief-relief candi menunjukkan dengan jelas adegan orang menari. Berbagai karya sastra pada masa ini juga memperkuat berkembangnya seni pertunjukan pada masa ini.
Masuknya agama Islam ke Indonesia memberi pengaruh unik terhadap seni pertunjukan Indonesia, khususnya seni musik. Pengaruh khas Islam ditemukan pada musik Rebana yang cukup akrab dan merakyat di beberapa daerah Indonesia. Sumbangan bangsa Eropa terhadap seni pertunjukan Indonesia, khususnya pada seni musik adalah toneel dan musik diatonik.
zaman kemerdekaan memberi warna tersendiri terhadap seni pertunjukan Indonesia, yaitu hidup dan berkembangnya musik keroncong dan dangdut atas dasar musik diatonik dan lagu kebangsaan Indonesia. Fungsi seni pertunjukan mengalami perkembangan dari waktu ke waktu sesuai dengan budaya yang menjadi latar belakangnya. Hasil pengamatan terhadap sejarah perjalanannya, seni pertunjukan menurut Edi Sedyawati (2006) setidaknya memiliki fungsi:
a. Fungsi religius.
b. Fungsi edukatif.
c. Fungsi peneguhan integrasi sosial.
d. Fungsi hiburan.
e. Fungsi mata pencaharian.
Fungsi religius seni pertunjukan di antaranya dapat ditemukan pada berbagai jenis dan bentuk seni yang digunakan sebagai sarana dakwah pada agama Islam.
Sampai saat ini seni pertunjukan sebagai sarana dakwah terus mengalami perkembangan pesat akibat ditemukannya teknologi komunikasi dan informasi. Seni pertunjukan seperti yang terdapat pada karya sastra digunakan sebagai sarana mendidik generasi berikutnya. Fungsi peneguhan integrasi sosial dapat ditemukan pada adanya tari-tari tertentu yang hanya dapat ditarikan di lingkungan istana untuk memperkokoh struktur sosial mereka. Fungsi hiburan terutama dialamatkan kepada para penikmat seni yang menjadikan seni sebagai sarana untuk bersenang-senang.
Fungsi mata pencaharian dikuatkan dengan adanya kelompok-kelompok seni yang menjadikan seni pertunjukan sebagai mata pencahariannya.
a. Seni Musik
Studi tentang seni musik dalam kerangka kebudayaan telah dilakukan manusia sejak abad ke –19 dengan cara mengumpulkan nyanyian-nyanyian rakyat. Studi ini melahirkan etnomusikologi, yakni ilmu tentang musik dihubungkan dengan kebudayaan masyarakat pemiliknya (William A.
Haviland, 1999). Pada umumnya disepakati bahwa musik manusia berbeda dengan musik alamiah, seperti nyanyian burung, serigala dan ikan paus.
Ada beberapa konsep dalam seni musik. Oktaf yaitu jarak antara nada dasar dan nada atasnya yang pertama. Oktaf terdiri dari tujuh tangga nada, lima nada utuh dan dua nada tengahan, diberi nama tangga nada A sampai dengan G. Tonalitas yakni sistem skala dan modifikasi-modefikasinya dalam musik. Tonalitas menentukan berbagai kemungkinan dan batasan-batasan melodi dan harmoni. Ritme berkaitan dengan teratur atau tidak teraturnya suatu musik. Ritme lagu terwujud dari ketukan lagu, bisa tiga ketukan, lima, tujuh atau sebelas dengan variasi susunan yang sangat kompleks.
Pada saat ini di Indonesia berkembang beberapa aliran musik. Selain terdapat musik tradisional yang biasanya dibawakan untuk mengiringi lagu-lagu tradisional (daerah), juga berkembang berbagai aliran musik lainnya sebut saja jazz, rock, pop, blues, dan reggae. Sedangkan jenis aliran musik lain semacam dangdut dan keroncong merupakan dua buah aliran musik yang memang sudah sejak lama digemari oleh masyarakat Indonesia, bahkan telah mendarah daging sehingga merupakan bagian dari budaya masyarakat Indonesia.
Di Indonesia perkembangan seni musik boleh dikatakan sangat pesat. bahkan ada kecenderungan terjadi perpaduan di antara berbagai aliran musik itu sehingga lahir irama-irama musik campuran seperti pop-rock, jazz-rock, rock-dut (rock dangdut), pop-dangdut, pop-keroncong, dan lain-lain. Selain itu terjadi pula perpaduan antara unsur-unsur modern dantradisional sehingga lahirlah irama musik campursari, yaitu sebagaimana yang saat ini digemari oleh masyarakat di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan musik campursari sekarang telah “go internasional” sebab selain digemari oleh orang Jawa yang ada di dalam negeri juga telah digemari pula oleh orang-orang suku Jawa yang ada di Malaysia dan Suriname.
Sedangkan satu hal lagi yang berkaitan dengan perkembangan seni musik, khususnya di Indonesia adalah jenis musik instrumentalia, yakni jenis atau irama musik yang dibawakan tanpa lagu.
b. Seni Tari
Indonesia memiliki banyak jenis tarian. Tari-tarian tersebut sudah dikenal sejak dulu baik yang berkembang dalam masyarakat ataupun di Istana. Bebarapa tari yang berakar dari tari adat meliputi pendet dan gabor di Bali dan jathilan di Jawa Tengah. Tamu-tamu di Bali disambut dengan tari pendet dan gabor.
Keindahan tari tanpa cerita mencapai puncaknya di keraton. Hal ini ditunjukkan oleh bedhaya dan serimpi. Tari legong di Bali ditonjolkan dalam pertunjukannya. Tujuannya adalah melakukan urutan gerak dengan keterampilan, keindahan, dan perasaan secara mendalam.
c. Seni Teater (Drama)
Seni teater tradisional ditemukan hampir pada semua masyarakat suku bangsa Indonesia. Seni teater tradisional pada masyarakat tradisional, selain sebagai sarana hiburan juga berfungsi sebagai sarana pewarisan nilai-nilai masyarakat dari suatu generasi ke generasi berikutnya, serta memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan sistem religi yang hidup pada masyarakat suku bangsa yang bersangkutan. Banyak upacara religi yang diwarnai oleh drama sebagai sarana penyalur kekuatan adi kodrati dan bakti kepada Tuhan. Ada beberapa contoh seni teater tradisional yang hingga saat ini sangat akrab dengan masyarakat Indonesia, diantaranya adalah seni teater Ludruk (kesenian Jawa Timur), Lenong (kesenian Betawi), dan seni teater Ketoprak (kesenian Jawa Tengah). Seni teater bukan hanya menampilkan dialog-dialok yang dibawakan oleh pemainnya, dalam seni teater terdapat unsur seni lainnya yang dipadu menjadi satu kesatuan yang indah dan bermakna. Contoh seni yang biasanya mewarnai pementasan seni teater adalah seni musik, seni suara, seni tari, dan lawak.
Saat ini kita berada di zaman modern bahkan pada bidang tertentu kita sudah berada di era postmodernisasi. Keberadaan teknologi media massa elektronik seperti televisi mendorong perkembangan seni teater yang ditayangkan dalam bentuk sinetron, film dan berbagai istilah lainnya. Sehingga tidak mengherankan bila masa ini, seni teater mengalami perkembangan yang sangat cepat dan variatif. Perkembangan seni teater dapat kita lihat pada temanya. Tema cerita teater tradisional berpusat pada masalah-masalah pada masyarakat tradisional yang bersangkutan, sedang teater modern mengangkat tema cerita yang sangat luas, mulai dari kehidupan lokal, nasional hingga internasional. Perkembangan seni dapat juga dilihat dari segi organisasinya. Jumlah organisasi seni teater pada masyarakat tradisional dapat dihitung dengan jari alias sangat sedikit, dan juga belum dipelajari melalui lembaga formal pendidikan. Pada masyarakat modern sekarang, berbagai organisasi (kelompok teater) tumbuh diberbagai daerah Indonesia, ada yang bergerak pada seni tradisional atau seni kontemporer, keadaan ini tidak terlepas dari kehadiran berbagai lembaga formal pendidikan seni di Indonesia. Sanggar-sanggar seni dengan mudah dapat ditemukan, ada teater sekolah, teater kampus bahkan sanggar-sanggar seni (bengkel seni) yang didirikan dan dikelola sendiri oleh masyarakat.
Tuntutan kebutuhan seni teater oleh dunia pertelevisian terus meningkat seiring bertambahnya jumlah saluran dan stasiun televisi. Tumbuh dan berkembang industri sinetron dan film. Para sutradara dan sineas melakukan penjelajahan ruang dan waktu untuk memperoleh ide cerita. Ada kalanya mereka berpaling ke masa lalu dan menemukan ide cerita pada berbagai seni teater tradisional. Merekan mengangkat ide cerita teater tradisional itu dan menjadikannya sebagai suatu karya yang dikenal dengan film atau sinetron. Seni teater tradisional yang diangkang ke sinetron dan film adalah seni teater yang bertemakan kebaikan lawan kejahatan, cinta, bakti kepada orang tua, komedi, perjuangan melawan kemiskinan keluarga, dokumenter, dan sebagainya. Tuntutan kebutuhan yang dipaparkan di atas melahirkan berbagai karya seni teater dan seniman-seniman berbakat dan penuh imajinasi pada bidang seni teater, diantaranya adalah Usmar Ismail, Asrul Sani, Teguh Karya, Soekarno M Noor, Arifin C. Noor, W.S Rendra, dan lain-lain.

Komentar

Postingan Populer