Seni Sastra

Sastra berkembang mengikuti jiwa masyarakat menurut jamannya. Jejak seni sastra dapat ditelusuri jauh ke masa lalu. Dalam kehidupan manusia ada banyak karya sastra, diantaranya adalah cerpen, novel, roman, esai, syair, sajak, dan puisi. Karya sastra pada hakekatnya merupakan perwujudan pengalaman sastrawan atau pujangga yang diungkapkan dengan jujur, terus terang, sungguh-sungguh dan penuh daya imajinasi serta dengan bahasa yang khas. Karakteristik itu menyebabkan pengalaman-pengalaman yang diungkapkan dalam karya sastra menjadi hidup dan memikat hati. Menurut Edi Sedyawati (2006), seni sastra yang sudah berhasil diidentifikasi sampai saat ini belum sebanyak suku bangsa Indonesia.
Indonesia memiliki karya sastra yang sangat banyak, tersebar dalam bahasa Jawa Kuno, Bali dan Indonesia. Karya-karya sastra Indonesia hidup dalam tradisi, agama dan seni. Dari semua sastra daerah Indonesia, sastra Bali memperoleh perhatian istimewa karena berisi jejak-jejak hubungan penganut Tantrisme Hindu-Budha Jawa dan India dengan orang Islam dari Jawa, khususnya Blambangan, orang Sasak (Lombok), dan Bugis (Sulawesi), serta orang Belanda. Interaksi itu diperkirakan mulai terjadi pada abad ke – 16. Kesusastraan Bali berisi teks sastra kuno yang dikarang di Jawa berdasarkan pada cerita kepahlawanan India, Ramayana dan Mahabharata. Pada abad ke – 10 karya sastra yang berhubungan dengan agama dan sejarah dibuat di Jawa dan dialihkan ke Bali pada abad ke –16.
Mulai abad ke-16, orang Bali menciptakan sastra mereka sendiri. Temannya masih tetap mengacu pada karya sastra Jawa Kuno, tetapi baru mulai abad ke-18, penggunaan bahasa Bali dalam karya sastra mulai berkembang.
Dan sejak tahun 1945, terutama setelah Indonesia merdeka, bahasa Indonesia digunakan secara luas dalam karya sastra, seperti novel, cerita pendek, dan puisi. Pada umumnya karya sastra dapat dikelompokkan menjadi prosa dan puisi. (Disarikan dari Indonesian Heritage, jilid 10).
Abdullah bin Abdulkadir Munsyi oleh para ahli sastra dianggap sebagai pelopor perintis kesusasteraan Melayu baru. Masa itu merupakan masa peralihan sastra Melayu ke sastra Indonesia. Terbukti setelah itu banyak karya sastra bangsa Indonesia diterbitkan oleh bangsa Indonesia sendiri, dalam hal ini Balai Pustaka. Maka Pujangga yang hidup setelah Abdullah bin Abdulkadir Munsyi disebut Angkatan Balai Pustaka. Bahasa yang dipakai adalah bahasa Indonesia meskipun strukturnya tidak sama dengan struktur bangsa Indonesia yang dipakai sekarang (Yandianto, 2004).
a. Prosa
Karya prosa pada awalnya bersifat informatif dan menjadi buku pegangan dalam mempelajari agama. Karya prosa tradisional berisi ungkapan-ungkapan suci, tata cara keagamaan, silsilah kitab undang-undang, peraturan desa, perbintangan, penanggalan, ilmu gaib, adu ayam, serta cara memelihara kuda dan merpati. Karya sastra tradisional ditulis pada naskah daun tar, dengan maksud peruntukan dibaca oleh kelompok tertentu, tidak untuk kaum awam. Bahasa yang digunakan pun berbeda.
Karya sastra tentang agama dan tata cara keagamaan ditulis dalam bahasa Jawa Kuna yang sukar dengan bahasa sangsekerta yang hanya dimengerti oleh sekelompok kecil anggota masyarakat. Karya sastra di luar itu ditulis dalam bahasa Jawa kuna yang tidak rumit, seringkali dicampur dengan bahasa Bali, yang bisa dimengerti oleh kebanyakan orang.
Karya-karya prosa pada zaman Balai Pustaka sampai sekarang terus lahir melalui pujangga-pujangga Indonesia menurut zamannya.
Diantaranya adalah Marah Rusli dengan Siti Nurbaya, Nur Sutan Iskandar dengan Apa Dayaku Karena Aku Perempuan, Nur Sutan Iskandar dengan cinta tanah air, dan sebagainya. Tema-tema yang diusung oleh prosa masa ini berkisar cinta anak manusia, kebijaksanaan orang tua, nilai-nilai kejujuran dan kebenaran, pengorbanan dan kematian. Dalam tema-tema itu tercuat harapan dan impian rakyat Indonesia tentang kehidupan yang lebih baik. Hal ini tidaklah mengherankan karena konteks sosial pada masa itu adalah kehidupan dalam penjajahan dan penderitaan.
b. Puisi
Pada masa sastra Melayu, puisi Indonesia berawal mula dari usaha-usaha untuk menerjemahkan syair-syair India ke dalam Bahasa Jawa dan Bali atas permintaan Raja, Pangeran dan anggota kerajaan lainnya yang hidup pada masa itu. Pokok bahasan puisi berkisar pada tema kepahlawanan India. Seiring dengan pergerakan waktu, orang Jawa dan Bali mulai menciptakan puisinya sendiri. Kisahnya bercerita mengenai tema cinta, dongeng binatang, dan cerita yang mengisahkan kehidupan istana kerajaan.
Pada masa Balai Pustaka, Indonesia memiliki pujangga-pujangga yang melahirkan karya sastra berupa puisi yang sangat fenomenal dan menjadi acuan hingga saat ini. Pujangga itu diantaranya adalah Amir Hamzah, Muh. Yamin, JE. Tatengkeng, Chairil Anwar, Dodong Jiwapraja, dan ajip Rosidi. Tema-tema yang diusung puisi pada masa ini adalah keindahan alam, hasrat untuk merdeka, dan perjuangan.

Komentar

Postingan Populer