Kerajaan Hindu Budha di Indonesia

1. Kerajaan Kutai
a. Kehidupan politik
Kerajaan Kutai terletak di dekat Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Keberadaan kerajaan ini dapat diketahui dari tujuh buah prasasti (Yupa) yang ditemukan di Muarakaman, tepi Sungai Mahakam. Prasasti yang berbentuk yupa itu menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Menurut para ahli, diperkirakan kerajaan Kutai dipengaruhi oleh kerajaan Hindu di India Selatan. Perkiraan itu didasarkan dengan membandingkan huruf di Yupa dengan prasasti-prasasti di India. Dari bentuk hurufnya, prasasti itu diperkirakan berasal dari abad ke-5 M. Apabila dibandingkan dengan prasasti di Tarumanegara, maka bentuk huruf di kerajaan Kutai jauh lebih tua.
Berdasarkan salah satu isi prasasti Yupa, kita dapat mengetahui nama-nama raja yang pernah memerintah di Kutai, yaitu Kundungga, Aswawarman dan Mulawarman. Prasasti
tersebut adalah:
“Srinatah sri-narendrasya, kundungasya mahatmanah, putro svavarmmo vikhyatah, vansakartta yathansuman, Tasya putra mahatmanah, tryas traya ivagnayah, tesn traynam prvrah, tapo- bala-damanvitah, sri mulavarmma rajendro,yastva bahusuvarunakam, tasya yjnasya yupo ‘yam, dvijendarais samprakalpitah. (Sang maharaja Kundungga, yang amat mulia, mempunyai putra yang masyhur , sang Aswawarman yang seperti ansuman, sang Aswawarman mempunyai tiga putra yang seperti api yang suci. Yang paling terkemuka ialah sang Mulawarman, raja yang berperadaban baik, kuat, dan kuasa. Dia melaksanakan selamatan dengan emas yang banyak. Untuk itulah Tugu batu ini didirikan)
b. Kehidupan ekonomi
Kehidupan ekonomi di kerajaan Kutai tergambar dalam salah satu prasasti, yang isinya, seperti berikut ini. (Tugu ini ditulis untuk (peringatan) dua (perkara) yang telah disedekahkan oleh sang Mulawarman yakni segunung minyak, dengan lampu dan malai bunga).
Dari Isi Yupa di atas, kita dapat menemukan beberapa benda yang disedekahkan yaitu minyak, lampu, dan malai bunga. Sedekah dari raja kepada Brahmana pasti dalam jumlah yang besar. Untuk itu, diperlukan jumlah minyak, lampu dan malai bunga yang banyak. Benda-benda itu didapatkan dalam jumlah yang banyak jika ada upaya untuk memperbanyaknya. Adanya minyak dan bunga malai, kita dapat menyimpulkan bahwa sudah ada usaha dalam bidang pertanian yang dilakukan oleh masyarakat Kutai. Sementara itu, lampu- lampu tersebut dihasilkan dari usaha dibidang kerajinan dan pertukangan. Hal ini menunjukkan bahwa kedua bidang usaha tersebut sudah berkembang di lingkungan masyarakat Kutai. Begitu pula pada prasasti yang lain, berisikan sebagai berikut. Mulawarman, raja yang mulia dan terkemuka telah memberi sedekah 20.000 ekor sapi kepada para Brahmana yang seperti api. Bertempat didalam tanah yang sangat suci Waprakeswara, buat peringatan akan kebaikan didirikan Tugu ini) Kehidupan ekonomi yang dapat disimpulkan dari prasasti tersebut adalah keberadaan sapi yang dipersembahkan oleh Raja Mulawarman kepada Brahmana. Keberadaan sapi menunjukkan adanya usaha peternakan yang dilakukan oleh rakyat Kutai. Arca-arca yang ditemukan oleh para arkeolog menunjukkan bahwa arca tersebut bukan berasal dari Kalimantan, tetapi berasal dari India. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sudah ada hubungan antara Kutai dan India, terutama hubungan dagang.
c. Kehidupan sosial-budaya
Pada Yupa diketemukan sebuah nama yaitu Kundungga yang tidak dikenal dalam bahasa India. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa nama tersebut merupakan nama asli daerah tersebut. Namun masih dalam yupa yang sama dijelaskan bahwa Kundungga mempunyai anak yang bernama Aswawarman yang mempunyai putra pula bernama Mulawarman. Dua nama terakhir merupakan nama yang mengandung unsur India, berbeda dengan nama Kundungga. Baik Kundungga, Aswawarman maupun Mulawarman merupakan raja-raja di Kutai, namun dari nama mereka dapat menunjukkan bahwa pengaruh Hindu pada keluarga kerajaan itu sudah mulai masuk pada masa Kundungga, meskipun baru menguat pada masa Aswawarman. Bukti kebudayaan Hindu sudah mulai masuk pada masa Kundungga dapat dibuktikan dengan diberikannya nama Hindu kepada anaknya. Namun pendapat itu bisa saja tidak tepat, jika Aswawarman yang mengganti namanya sendiri, dan bukan oleh ayahnya melalui upacara vrtyastoma. Vrtyastoma adalah upacara penyucian diri dalam agama Hindu. Upacara vrtyastoma digunakan oleh orang-orang Indonesia yang terkena pengaruh Hindu untuk masuk ke dalam kasta tertentu sesuai dengan kedudukan asalnya, dan setelah upacara ini diadakan, biasanya disusul dengan pergantian nama.
d. Kepercayaan
Berdasarkan isi prasasti itu pula dapat diketahui bahwa masyarakat di Kerajaan Kutai memeluk agama Hindu. Hal itu dapat dilihat dari prasasti yang menyebutkan tempat suci yaitu Waprakeswara, yaitu tempat suci yang dihubungkan dengan Dewa Wisnu. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa agama Hindu merupakan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Kutai. Agama yang dianut di Kutai yaitu agama Hindu aliran pemuja Siwa yang diduga berasal dari India Selatan, dengan bukti adanya huruf Pallawa yang digunakan di India Selatan, serta penggunaan nama Warman yang merupakan kebiasaan dari India Selatan.
2. Kerajaan Tarumanegara
Pulau Jawa memasuki catatan sejarah sejak abad ke-2 Masehi. Dalam catatan India yang ditulis pada awal abad ke-2, berjudul Mahaniddesa, sudah tercantum nama Yawadwipa (Pulau Jawa). Claudius Ptolemeus, ahli geografi Yunani, menyebutkan bahwa Pulau Labadiou ketika menguraikan daerah Asia Tenggara dalam bukunya Geographike Hyphegesis, yang ditulisnya pada sekitar tahun 150 M. Sejak pertengahan abad ke-3, catatan Cina sudah menyebut She-po (Jawa )
a. Kehidupan politik
Kerajaan Tarumanegara merupakan kerajaan tertua di Pulau Jawa yang dipengaruhi agama dan kebudayaan Hindu. Letaknya di Jawa Barat dan diperkirakan berdiri kurang lebih abad ke 5 M. Raja yang memerintah pada saat itu adalah Purnawarman. Ia memeluk agama Hindu dan menyembah Dewa Wisnu.
Sumber sejarah mengenai Kerajaan Tarumanegara dapat diketahui dari prasasti-prasasti yang ditinggalkannya dan berita-berita Cina. Prasasti yang telah ditemukan sampai saat ini ada 7 buah. Berdasarkan prasasti inilah dapat diketahui bahwa kerajaan ini mendapat pengaruh kuat dari kebudayaan Hindu. Prasasti itu menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Dengan demikian, Kerajaan Tarumanegara seperti halnya Kerajaan Kutai mendapat pengaruh dari Kerajaan Hindu yang ada di India Selatan.
Wilayah Kerajaan Tarumanegara32
Prasasti-prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara berdasarkan tempat penemuannya, antara lain sebagai berikut.
1) Prasasti Ciaruteun (Ciampea), ditemukan di tepi Sungai Ciaruteun (Bogor) dekat muaranya dengan Cisadane.
2) Prasasti Pasir Jambu (Koleangkak), ditemukan di daerah perkebunan Jambu sekitar 30 km sebelah barat Bogor.
3) Prasasti Kebon Kopi, ini terletak di Kampung Muara Hilir, Cibungbulang (Bogor). Ditulis dalam bentuk puisi Anustubh.
4) Prasasti Pasir Awi dan Prasasti Muara Cianten. Kedua prasasti ini menggunakan aksara yang berbentuk ikal yang belum dapat di baca, ditemukan di Bogor.
5) Prasati Tugu, ditemukan di daerah Tugu (Jakarta). Prasasti ini merupakan prasasti terpanjang dari semua prasasti peninggalan Raja Purnawarman. Prasasti ini berbentuk puisi Anustubh. Tulisannya dipahatkan pada sebuah batu bulat panjang secara melingkar.
6) Prasasti Cidanghiang atau Prasasti Lebak, ditemukan di tepi Sungai Cidanghiang, Kecamatan Munjul, Lebak (Banten).
Sumber lain yang menerangkan tentang Kerajaan Tarumanegara dapat dilihat dari berita Cina berupa catatan perjalanan seorang penjelajah Cina bernama Fa-Hien pada awal abad ke-5 M. Dalam bukunya Fa-Kuo-Chi, ia membuat catatan bahwa di Ye-Po-Ti banyak dijumpai orang-orang Brahmana dan mereka yang beragama kotor atau buruk dan sedikit sekali dijumpai orang yang beragama Buddha. Menurut para ahli yang dimaksud Ye-Po-Ti adalah Jawadwipa atau Pulau Jawa atau Tarumanegara. Berita Cina lainnya berasal dari catatan Dinasti Sui, yang menerangkan bahwa telah datang utusan dari To-lo-mo (Taruma) untuk menghadap Kaisar di negeri Cina pada tahun 528, 535, 630, dan 669. Sesudah itu, nama To-lo-mo tidak terdengar lagi.
b. Kehidupan ekonomi
Berdasarkan sumber-sumber sejarah tersebut, baik prasasti maupun berita- berita dari Cina, dapatlah diperoleh gambaran bahwa kehidupan kerajaan Tarumanegara pada masa itu. Berdasarkan prasasti Tugu dapat diketahui mata pencaharian penduduknya, yaitu pertanian dan perdagangan. Begitu pula berdasarkan berita dari Fa-Hien awal abad ke 5, diketahui bahwa mata pencaharian penduduk Tarumanegara adalah pertanian, peternakan, perburuan binatang, dan perdagangan cula badak, kulit penyu dan perak. Prasasti Tugu, ditemukan di daerah Tugu (Jakarta) merupakan prasasti terpanjang dari semua prasasti peninggalan Raja Purnawarman. Dulu kali candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan kuat buat mengalirkannya ke laut, setelah sampai di istana yang termasyhur, didalam tahun keduapuluh duanya dari takhta raja Purnawarman yang berkilau-kilau karena kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji segala raja. Sekarang beliau menitahkan menggali sungai yang permai dan jernih, gomati namanya, setelah melewati kediaman sang pendeta nenkda, pekerjaan ini dimulai pada tanggal 9 paro petang bulan, pulaguna dan disudahi tanggal 13 paro terang bulan citra, jadi hanya 21 saja, sedangkan galian panjangnya 6.122 tumbak. Selamatan baginya oleh para Brahmana disertai 1000 ekor sapi yang dihadiahkan”. Dari prasasti tersebut dapat disimpulkan bahwa Raja sangat memperhatikan kondisi perekonomian masyarakatnya. Penggalian sungai Chandrabhaga sepanjang 12 km yang berlangsung selama 21 hari itu dimaksudkan untuk kepentingan pengairan pertanian, pencegah banjir, dan sebagai sarana transportasi dari pesisir pantai ke pedalaman.
c. Kehidupan sosial-budaya
Berdasarkan sumber yang ada, diperkirakan masyarakat Tarumanegara terdiri atas golongan istana dan masyarakat biasa. Termasuk ke dalam golongan istana, yaitu para Brahmana, raja dan keluarganya, para ksatria (prajurit), dan para pegawai kerajaan. Adapun yang termasuk ke dalam golongan rakyat biasa, yaitu para pedagang, petani, dan peternak. Hubungan antara raja dan rakyat sangat harmonis. Hal ini tampak pada perhatian raja terhadap ekonomi masyarakatnya.
d. Kepercayaan
Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan, bahwa kepercayaan Hindu-Buddha sangat berakar kuat di kerajaan ini. Perkembangan agama Hindu sangat baik, hal ini ditandai dengan hubungan yang erat antara raja dan Brahmana. Dengan demikian, agama Hindu memberikan nilai-nilai terhadap kehidupan kerajaan. Sementara itu, berita dari Fa Hsien dijelaskan bahwa penganut agama Buddha sangat sedikit dibanding dengan agama Hindu
3. Kerajaan Sriwijaya
a. Kehidupan politik
Kerajaan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar yang terletak di Sumatra Selatan. Menurut para ahli, pusat Kerajaan Sriwijaya ada di Palembang dan diperkirakan telah berdiri pada abad ke-7 M. Sumber sejarah kerajaan Sriwijaya berupa prasasti dan berita Cina. Sumber yang berupa prasasti terdiri atas dua, yaitu prasasti yang berasal dari dalam negeri dan prasasti yang berasal dari luar negeri.
Prasasti yang berasal dari dalam negeri antara lain: prasasti Kedukan Bukit (683 m), Talang Tuwo (684 m), Telaga Batu (683), Kota Kapur (686), Karang Berahi (686), Palas Pasemah dan Amoghapasa (1286). Sementara itu, prasasti yang berasal dari luar negeri antara lain; Ligor (775), Nalanda,Piagam Laiden, Tanjore (1030 M), Canton (1075 M), Grahi (1183 M) dan Chaiya (1230). Begitu pula sumber naskah dan buku yang berasal dari dalam negeri adalah kitab Pararaton, sedangkan dari luar negeri antara lain kitab memoir dan record karya I-Tsing, Kronik dinasti Tang, Sung, dan Ming, kitab Lingwai-tai-ta karya Chou-ku-fei dan kitab Chu-fon-chi karya Chaou- fu hua.
Para sejarawan masih berbeda pendapat tentang Sriwijaya yaitu awal berkembang dan berakhirnya serta lokasi ibu kotanya. Menurut Coedes, Sriwijaya berkembang pada abad ke-7 di Palembang dan runtuh pada abad ke-14. Pendapatnya didasarkan pada ditemukannya toponim Shih Li Fo Shih dan San Fo Tsi. Menurutnya Shih Li Fo Shih merupakan perkataan Cina untuk menyebut Sriwijaya. Sementara itu, San Fo Tsi yang ada pada sumber Cina dari abad ke-9 sampai dengan abad ke-14 merupakan kependekan dari Shih Li Fo Shih. Slamet Mulyana berpendapat lain, dia setuju dengan pendapat Coedes yang menganggap bahwa Shih Li Fo Shih adalah Sriwijaya, namun San Fo Tsi tidak sama dengan Shih Li Fo Shih. Menurutnya Sriwijaya berkembang sampai abad ke-9, dan sejak itu Sriwijaya berhasil ditaklukkan oleh San Fo Tsi (Swarnabhumi). Mengenai ibu kota Sriwijaya, para ahli mendasarkan pendapatnya pada daerah yang disebutkan dalam prasasti Kedukan Bukit yaitu Minanga. Prasasti Kedukan Bukit berangka tahun 604 saka (682 M) ditemukan di daerah Kedudukan Bukit, di tepi Sungai Tatang, dekat Palembang Adapun isi prasasti Kedukan Bukit, adalah sebagai berikut:
Pada tahun saka 605 hari kesebelas bulan terang bulan waiseka dapunta hyang naik di perahu mengadakan perajalanan pada hari ketujuh bulan terang. Bulan jyestha dapunta hyang berangkat dari minanga. Tambahan beliau membawa tentara dua laksa (20.000), dua ratus koli di perahu, yang berajalan darat seribu, tiga ratus dua belas banyaknya datang di mukha upang, dengan senang hati pada ghari kelima bulan terang bulan asada, dengan lega gembira datang membuat wanua ... . perajalanan jaya sriwijy memberikan kepuasan.
Poerbacaraka berpendapat bahwa Minanga adalah pertemuan antara sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri, sehingga beliau berpendapat bahwa ibu kota Sriwijaya adalah di Minangkabau. Muhammad Yamin mengartikan Minanga Tanwan adalah air tawar dan Sriwijaya ibu kotanya terletak di Palembang. Bukhori berpendapat sama dengan Muhammad Yamin bahwa ibu kota Sriwijaya terletak di sekitar daerah Palembang Prasasti Kedukan Bukit isinya menceritakan bahwa pada tanggal 11 Waisaka 604 (23 April 682), Raja Sriwijaya yang bergelar Dapunta Hyang naik perahu memimpin operasi militer. Lalu pada tanggal 7 paro terang bulan Jesta (19 Mei) Dapunta Hyang berangkat dari Minanga Tamwan untuk kembali ke ibu kota. Mereka bersukacita karena pulang dengan kemenangan. Pada tangga 5 Asada (16 Juni) mereka tiba di Muka Upang (sebelah timur Palembang). Sesampai di ibu kota, Dapunta Hyang memerintahkan pembuatan bangunan suci sebagai tanda rasa syukur.
Prasasti Ligor A (775) ditemukan di Muangthai selatan “Pujian terhadap raja Sriwijaya yang di ibaratkan bagai Mnu yang memberi berkah bagi dunia menyerupai Indra dan semua raja tetangga taat kepadanya ditulis pula pendirian sebuah bangunan batu trisamayacahtya untuk padma, pani, sakyamuni, dan wajrpani”. Prasasti Ligor B, Pujian bagi raja yang berhasil menaklukkan musuh-musuhnya dan merupakan wujud kembar dewa kasta yang dengan kekuatannya disebut (sebagai dewa) Wisnu, kedua mematahkan keangkuhan semua musuhnya (Sarwarimadawimthana). Ia adalah keturunan dari (keluarga Syailendra) yang tersohor disebut Srimaharaja.”
Prasasti Ligor yang ditemukan di semenanjung tanah Melayu menceritakan tentang Raja Sriwijaya dan pembangunan trisamayacaithya untuk menyembah dewa-dewa agama Buddha, serta menyebutkan seorang raja bernama Wisnu dengan gelar Sarwarimadawimathana atau pembunuh musuh-musuh yang sombong tiada bersisa. Begitu pula prasasti Nalanda yang dikeluarkan oleh Raja Dewa Paladewa. Isinya menyebutkan tentang pendirian bangunan biara di Nalanda oleh Raja Balaputradewa, Raja Sriwijaya yang menganut agama Buddha.
Daerah kekuasaan Sriwijaya meliputi seluruh Sumatra, sebagian Jawa, Semenanjung Malaya, dan Muangthai Selatan. Dengan menguasai Selat Malaka,Selat Sunda, dan Laut Jawa, Kerajaan Sriwijaya menguasai jalur lalu lintas
pelayaran dan perdagangan internasional. Untuk itu penghasilan negara Sriwijaya terutama diperoleh dari perdagangan (komoditas ekspor dan bea cukai kapal-
kapal yang singgah di wilayah Sriwijaya). Jadi, kerajaan ini lebih menitik beratkan pada bidang maritim dan perdagangan.
Sejak pertengahan abad ke-9, Sriwijaya diperintah oleh Dinasti Syailendra. Hal ini dinyatakan dalam prasasti Nalanda di India, yang menguraikan permintaan Raja Balaputradewa dari Sriwijaya kepada Raja Dewapaladewa dari Benggala untuk mendirikan wihara di Nalanda pada tahun 860. Disebutkan juga dalam prasasti itu, bahwa Balaputradewa adalah putra Samaragrawira, yaitu raja Jawa dari Dinasti Syailendra.
Prasasti kota kapur (686 M) isinya tentang cerita peperangan dan sumpah atau kutukan bagi orang-orang yang melanggar peraturan dan kehendak penguasa.
Adapun yang lebih menarik tentang isi prasasti ini, ialah bagian terakhir yang berbunyi: “Tahun saka 608 hari pertama bulan terang bulan waisaka, itulah waktunya sumpah ini dipahat, pada waktu itu tentara Sriwijaya berangkat tanah Jawa karena tidak mau tunduk kepada Sriwijaya.” Dari prasasti tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Sriwijaya pernah ada upaya untuk menaklukkan Jawa. Para ahli menerangkan bahwa kerajaan di Jawa yang ditaklukkan adalah Tarumanegara. Hubungan dengan India tidak bertahan lama, sebab pada awal abad ke-11 Raja Rajendracola dari Kerajaan Colamandala melakukan penyerbuan besar-besaran ke wilayah Sriwijaya, antara lain Kedah, Aceh, Nikobar, Binanga, Melayu, dan Palembang. Berita penyerangan tersebut ada dalam prasasti Tanjore di India Selatan. Tetapi, penyerbuan Colamandala dapat dipukul mundur atas bantuan Raja Airlangga dari Jawa Timur. Atas jasanya ini, Airlangga dinikahkan dengan Sanggramawijayatunggadewi, putri Raja Sriwijaya.
Kekuatan Sriwijaya mulai menurun setelah berhasil memukul mundur pasukan Colamandala. Menurunnya kekuatan itu dapat terlihat dari ketidakmampuannya mengawasi dan memberi perlindungan bagi pelayaran dan perdagangan yang ada di perairan Indonesia. Keadaan itu dimanfaatkan juga oleh kerajaan-kerajaan vasal (bawahan) untuk melepaskan diri dari kekuasaan Sriwijaya, seperti yang dilakukan oleh kerajaan Malayu (Jambi).
Prasasti Tanjore (1030) yang dikeluarkan oleh Rjendra berisi Tentara Colal melakukan serangan dua kali ke beberapa negeri diantaranya ke Sriwijaya, pertama tahun 1015 dan kedua 1025. Pada serangan kedua berhasil menawan rajanya yang bernama Sri Sangramwijaya Tunggawarman, setelah meminta maaf, dia ditakhtakan kembali.Sementara itu, prasasti Wirarajendra, yang dikeluarkan oleh Raja Cola (1068), berisikan bahwa pasukan Cola menyerang kembali Sriwijaya tahun 1067. Selanjutnya pada abad ke-13 dan ke-14, kebesaran Sriwijaya tidak pernah disebut-sebut lagi dalam sumber-sumber sejarah. Jadi, kapan Kerajaan Sriwijaya mengalami keruntuhan? Menurut catatan Cina, utusan Sriwijaya terakhir datang ke Cina pada tahun 1178. Selain itu, pada catatan Chu- fan-chi yang ditulis oleh Chau Ju Kua tahun 1225 disebutkan bahwa Palembang (ibu kota Sriwijaya) telah menjadi negeri taklukan Malayu.
b. Kehidupan ekonomi
Kerajaan Sriwijaya adalah salah satu kerajaan terbesar di Indonesia pada masa silam. Kerajaan Sriwijaya mampu mengembangkan diri sebagai negara maritim yang pernah menguasai lalu lintas pelayaran dan perdagangan internasional selama berabad-abad dengan menguasai Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut Jawa. Setiap pelayaran dan perdagangan dari Asia Barat ke Asia Timur atau sebaliknya harus melewati wilayah Kerajaan Sriwijaya yang meliputi seluruh Sumatra, sebagian Jawa, Semenanjung Malaysia, dan Muangthai Selatan. Keadaan ini juga yang membawa penghasilan Kerajaan Sriwijaya terutama diperoleh dari komoditas ekspor dan bea cukai bagi kapal-kapal yang singgah di pelabuhan-pelabuhan milik Sriwijaya. Komoditas ekspor Sriwijaya antara lain kapur barus, cendana, gading gajah, buah-buahan, kapas, cula badak, dan wangi-wangian.
c. Kehidupan sosial-budaya
Prasasti Amoghpasha (1286) berbunyi “Pada tahun saka 1208 .....tatkala itulah arca paduka amoghappasa lokeswara dengan empat belas pengikutnya serta tujuh ratna permata dibawa dari bhumi Jawa ke suwarnabhumi supaya ditegakan. Sumber sejarah lain mengenai Kerajaan Sriwijaya dapat dilihat dari berita Cina. Berita itu datang dari seorang pendeta yang bernama I-Tsing yang pada tahun 671 berdiam di Sriwijaya untuk belajar tata bahasa Sanskerta sebagai persiapan kunjungannya ke India. I-Tsing menyebutkan bahwa di negeri Sriwijaya dikelilingi oleh benteng. Di negeri ini ada seribu orang pendeta yang belajar agama Buddha. Seperi halnya di India, para pendeta Cina yang mau belajar agama ke India dianjurkan untuk belajar terlebih dahulu di Sriwijaya selama satu sampai dua tahun. Disebutkan juga bahwa para pendeta yang belajar agama Buddha di Sriwijaya dibimbing oleh seorang guru yang sangat terkenal bernama Sakyakirti. Berdasarkan berita I-Tsing dapat disimpulkan bahwa kerajaan Sriwijaya sejak abad ke-7 M merupakan pu at kegiatan ilmiah agama Buddha di Asia Tenggara.Prasasti Nalanda berisi tentang pembebasan tanah untuk pendirian sebuah biara atas permintaan raja Swarnadiva, Balaputradewa, cucu raja Jawa berjuluk Wirawairimathana, yang berputra Samaargrawira yang menikahi putri Raja Dharmasetu. Dari prasasti-prasasti tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa raja sangat memperhatikan dunia pendidikan dalam memajukan dan mengembangkan kerajaannya. Pendidikan yang berbasis pengajaran agama Buddha disatu sisi telah membawa corak kehidupan yang khas pada masyarakat Sriwijaya
d. Kepercayaan
Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat agama Buddha di Asia Tenggara. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya biksu yang terdapat di Sriwijaya beserta pusat pendidikannya. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan, bahwa penduduk yang beragama Hindu terdapat pula di Sriwijaya. Prasasti Talang Tuo isinya menyebutkan tentang pembuatan kebun Sriksetra atas perintah Dapunta Hyang Sri Jayanasa sebagai suatu pranidhana (na ar). Di samping itu, terdapat doa dan harapan yang menunjukkan sifat agama Buddha. Sebaliknya, prasasti Karang Berahi, prasasti Telaga Batu, dan prasasti Palas Pasemah umumnya berisi doa, kutukan, dan ancaman terhadap orang yang melakukan kejahatan dan tidak taat pada peraturan Raja Sriwijaya.
4. Kerajaan Mataram Kuno ( berpusat di Jawa Tengah )
Sejarah Indonesia mengenal dua Kerajaan Mataram, yaitu Mataram Kuno yang bercorak Hindu-Buddha dan Mataram Islam yang merupakan cikal bakal Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta. Kedua kerajaan itu berbeda dalam hal agama dan dinasti, namun kedua-duanya berkembang pada daerah yang sama yaitu di Jawa Tengah dan Yogyakarta.

a. Kehidupan politik
Kerajaan Mataram Kuno dikenal sebagai kerajaan yang toleran dalam hal beragama. Sebab, di Kerajaan Mataram Lama berkembang agama Buddha dan Hindu secara berdampingan. Kerajaan ini diperintah oleh dua dinasti, yaitu Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu dan Dinasti Syailendra yang beragama Buddha. Berdasarkan interpretasi terhadap prasasti-prasasti bahwa kedua dinasti itu saling bersaing berebut pengaruh dan kadang-kadang memerintah bersama-sama. Asal usul Dinasti Sanjaya tercantum dalam prasasti Canggal (732 M) yang menyebutkan bahwa Sanjaya adalah keponakan Sanna (anak dari Sannaha). Dinasti Syailendra sendiri tercantum dalam prasasti Sojomerto (tidak berangka tahun), isinya menceritakan tentang Dapuntahyang Syailendra.
Berdasarkan Prasasti Canggal (732 M), terletak di atas Gunung Wukir, Kecamatan Salam Magelang, diketahui bahwa raja pertama dari Dinasti Sanjaya adalah Sanjaya yang memerintah di ibu kota bernama Medang. Prasasti itu juga menceritakan tentang pendirian sebuah lingga (lambang dewa Syiwa) di atas bukit di wilayah Kunjarakunja oleh Raja Sanjaya pada tanggal 6 Oktober 732. Disebutkan juga tentang Pulau Jawa yang subur dan banyak menghasilkan gandum atau padi dan kaya akan tambang emas, yang mula-mula diperintah oleh Raja Sanna. Setelah Raja Sanna meninggal, ia digantikan41 oleh Raja Sanjaya, anak saudara perempuan Raja Sanna. Raja Sanjaya adalah seorang raja yang gagah berani yang telah menaklukkan raja di sekelilingnya dan menjadikan kemakmuran bagi rakyatnya . Menurut Carita Parahyangan (buku sejarah Pasundan), disebutkan Sanna berasal dari Galuh (Ciamis).
Selain prasasti Canggal, ada juga prasasti Kalasan (778 M) yang terdapat di sebelah timur Yogyakarta. Dalam prasasti itu disebutkan Raja Panangkaran dengan nama Syailendra Sri Maharaja Dyah Pancapana Rakai Panangkaran. Hal itu menunjukkan bahwa raja-raja keturunan Sanjaya termasuk keluarga Syailendra.
Prasasti Kedu ( Prasasti Mantyasih ) berangka tahun 907 M mencantumkan silsilah raja-raja yang memerintah di Kerajaan Mataram. Prasasti Kedu dibuat pada masa Raja Rakai Dyah Balitung. Adapun silsilah raja-raja yang pernah memerintah di Mataram yaitu sebagai berikut.
1. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya
2. Sri Maharaja Rakai Panangkaran
3. Sri Maharaja Rakai Panunggalan
4. Sri Maharaja Rakai Warak
5. Sri Maharaja Rakai Garung
6. Sri Maharaja Rakai Pikatan
7. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi
8. Sri Maharaja Rakai Watuhumalang
9. Sri Maharaja Rakai Dyah Balitung.
Menurut prasasti Kedu dapat diketahui bahwa Raja Sanjaya digantikan oleh Rakai Panangkaran. Selanjutnya salah seorang keturunan raja Dinasti Syailendra yang bernama Sri Sanggrama Dhananjaya berhasil menggeser kekuasaan Dinasti Sanjaya yang dipimpin Rakai Panangkaran pada tahun 778. Sejak saat itu, Kerajaan Mataram dikuasai sepenuhnya oleh Dinasti Syailendra.Tahun 778 sampai dengan tahun 856 sering disebut sebagai pemerintahan selingan. Sebab, antara Dinasti Syailendra dan Dinasti Sanjaya silih berganti berkuasa. Dinasti Syailendra yang beragama Buddha mengembangkan Kerajaan Mataram Lama yang berpusat di Jawa Tengah bagian selatan, sedangkan Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu mengembangkan kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah bagian Utara. Puncak kejayaan Dinasti Sanjaya terjadi pada masa pemerintahan Raja Dyah Balitung yang menguasai Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ia mendirikan candi Prambanan dan Loro Jonggrang menurut model candi-candi Syailendra.Masa pemerintahan raja-raja Mataram setelah Dyah Balitung tidak terlalu banyak sumber yang menceritakannya. Yang dapat diketahui adalah nama-nama raja yang memerintah, yakni, Daksa (913-919), Wawa (919-924), Tulodhong (924-929), sampai Mpu Sindok pada tahun 929 M memindahkan ibu kota kerajaan dari Medang ke Daha (Jawa Timur) dan mendirikan dinasti baru yaitu Dinasti Isanawangsa.

b. Kehidupan ekonomi
Letak kerajaan Mataram yang terisolasi menyebabkan perekonomian kerajaan itu sulit untuk berkembang dengan baik. Selain itu, transportasi dari pesisir ke pedalaman sulit untuk dilakukan karena keadaan sungainya. Dengan demikian, perekonomian rakyat banyak yang mengandalkan sektor agraris daripada perdagangan, apalagi perdagangan internasional. Dengan keadaan tersebut, wajar bila Raja Kayuwangi berusaha untuk memajukan sektor pertanian, sebab dengan sektor inilah, perekonomian rakyat dapat dikembangkan. Berdasarkan prasasti Purworejo (900 M) disebutkan bahwa Raja Belitung memerintahkan pendirian pusat-pusat perdagangan. Pendirian pusat-pusat perdagangan tersebut dimaksudkan untuk mengembangkan perekonomian masyarakat, baik di sektor pertanian dan perdagangan. Selain itu, dimaksudkan agar menarik para pedagang dari daerah lain untuk mau berdagang di Mataram. Prasasti Wonogiri (903 M) menceritakan tentang dibebaskannya desa-desa di daerah pinggiran sungai Bengawan Solo apabila penduduk setempat mampu menjamin kelancaran lalu lintas di sungai tersebut. Terjaminnya sarana pengangkutan atau transportasi merupakan kunci untuk mengembangkan perekonomian dan membuka hubungan dagang dengan dunia luar. Dengan demikian, usaha-usaha men embangkan sektor perekonomian terus diusahakan oleh raja Mataram demi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya.

c. Kehidupan sosial-budaya
Struktur sosial masyarakat Mataram Kuno tidak begitu ketat, sebab seorang Brahmana dapat menjadi seorang pejabat seperti seorang ksatria, ataupun sebaliknya seorang Ksatria bisa saja menjadi seorang pertapa. Dalam masyarakat Jawa, terkenal dengan kepercayaan bahwa dunia manusia sangat dipengaruhi oleh alam semesta (sistem kosmologi). Dengan demikian, segala yang terjadi di alam semesta ini akan berpengaruh pada kehidupan manusia, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, untuk keserasian alam semesta dan kehidupan manusia maka harus dijalin hubungan yang harmonis antara alam semesta dan manusia, begitu pula antara sesama manusia. Sistem kosmologi juga menjadikan raja sebagai penguasa tertinggi dan penjelmaan kekuatan dewa di dunia. Seluruh kekayaan yang ada di tanah kerajaan adalah milik raja, dan rakyat wajib membayar upeti dan pajak pada raja. Sebaliknya raja harus memerintah secara arif dan bijaksana.Dalam bidang kebudayaan, Mataram Kuno banyak menghasilkan karya yang berupa candi. Pada masa pemerintahan Raja Sanjaya, telah dibangun beberapa candi antara lain: Candi Arjuna, Candi Bima dan Candi Nakula. Pada masa Rakai Pikatan, dibangun Candi Prambanan. Candi-candi lain yang dibangun pada masa Mataram Kuno antara lain Candi Borobudur, Candi Gedongsongo, Candi Sambisari, dan Candi Ratu Baka.

d. Kepercayaan
Pada masa pemerintahan Rakai Pikatan, banyak didirikan candi-candi yang bercorak Hindu dan Buddha. Pernikahannya dengan Pramodhawardhani tidak menyurutkan Rakai Pikatan untuk berpindah agama. Ia tetap memeluk agama Hindu dan permaisurinya beragama Buddha. Pembangunan candi-candi dilakukan dengan bekerja sama. Pramodhawardhani yang bergelar Sri Kahulunan banyak mendirikan candi yang bersifat Buddha, sedangkan suaminya (Rakai Pikatan) banyak mendirikan candi yang bersifat Hindu.
5. Kerajaan Mataram Kuno (Berpusat di Jawa Timur)
Runtuhnya kerajaan Mataram disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, disebabkan oleh letusan gunung Merapi yang mengeluarkan lahar. Kemudian lahar tersebut menimbun candi-candi yang didirikan oleh kerajaan, sehingga candi-candi tersebut menjadi rusak. Kedua, runtuhnya kerajaan Mataram disebabkan oleh krisis politik yang terjadi tahun 927-929 M. Ketiga, runtuhnya kerajaan dan perpindahan letak kerajaan dikarenakan pertimbangan ekonomi. Di Jawa Tengah daerahnya kurang subur, jarang terdapat sungai besar dan tidak terdapatnya pelabuhan strategis. Sementara di Jawa Timur, apalagi di pantai selatan Bali merupakan jalur yang strategis untuk perdagangan, dan dekat dengan daerah sumber penghasil komoditi perdagangan
Mpu Sindok mempunyai jabatan sebagai Rake I Hino ketika Wawa menjadi raja di Mataram, lalu pindah ke Jawa timur dan mendirikan dinasti Isyana di sana dan menjadikan Walunggaluh sebagai pusat kerajaan . Mpu Sindok yang membentuk dinasti baru, yaitu Isanawangsa berhasil membentuk Kerajaan Mataram sebagai kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yang berpusat di Jawa Tengah. Mpu Sindok memerintah sejak tahun 929 M sampai dengan 948 M.
Sumber sejarah yang berkenaan dengan Kerajaan Mataram di Jawa Timur antara lain prasasti Pucangan, prasasti Anjukladang dan Pradah, prasasti Limus, prasasti Sirahketing, prasasti Wurara, prasasti Semangaka, prasasti Silet, prasasti Turun Hyang, dan prasasti Gandhakuti yang berisi penyerahan kedudukan putra mahkota oleh Airlangga kepada sepupunya yaitu Samarawijaya putra Teguh Dharmawangsa.

a. Kehidupan politik
Mpu Sindok kemudian digantikan oleh Sri Isana Tunggawijaya yang memerintah sebagai Ratu. Ia menikah dengan Raja Sri Lokapala dan dikaruniai seorang putra yang bernama Sri Makutawang Swardhana. Pada akhir abad ke-10 M, Mataram diperintah oleh Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama yang memerintah sampai tahun 1016 M. Ia adalah salah seorang keturunan Mpu Sindok. Berdasarkan berita dari Cina, disebutkan bahwa Dharmawangsa pada tahun 990 M melakukan serangan ke Sriwijaya sebagai upaya mematahkan monopoli perdagangan Sriwijaya. Serangan tersebut gagal, malahan Sriwijaya berhasil menghasut Raja Wurawari (sekitar Banyumas) untuk menyerang istana Dharmawangsa pada tahun 1016. Akhirnya Sri Dharmawangsa yang mempunyai ambisi untuk meluaskan kekuasaannya, pada tahun 1016 M mengalami kehancuran (Pralaya) di tangan seorang raja bawahannya sendiri yaitu Raja Wurawari. Peristiwa ini terjadi pada saat Sri Dharmawangsa sedang melangsungkan acara pernikahan putrinya dengan Airlangga. Seluruh keluarga raja tewas termasuk Dharmawangsa, Airlangga yang berhasil menyelamatkan diri dan bersembunyi di Wonogiri (hutan gunung). Di sana ia hidup sebagai seorang pertapa.
Pada tahun 1019, Airlangga yang merupakan menantu Dharmawangsa yang berasal dari Bali dinobatkan oleh para pendeta Buddha menjadi raja menggantikan Dhamawangsa. Ia segera mengadakan pemulihan hubungan baik dengan Sriwijaya, bahkan membantu Sriwijaya ketika diserang Raja Colamandala dari India Selatan. Pada tahun 1037 M Airlangga berhasil mempersatukan kembali daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh Dharmawangsa, meliputi seluruh Jawa Timur Kemudian pada tahun 1037, Airlangga memindahkan ibu kota kerajaannya dari Daha ke Kahuripan.
Pada tahun 1042, Airlangga mengundurkan diri dari takhta kerajaan, lalu hidup sebagai petapa dengan nama Resi Gentayu (Djatinindra). Menjelang akhir pemerintahannya Airlangga menyerahkan kekuasaannya kepada putrinya Sangrama Wijaya Tunggadewi. Namun, putrinya itu menolak dan memilih untuk menjadi seorang petapa dengan nama Ratu Giriputri. Airlangga memerintahkan Mpu Bharada untuk membagi dua kerajaan. Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya perang saudara di antara kedua putranya yang lahir dari selirnya. Kerajaan itu adalah: Kerajaan Janggala di sebelah timur diberikan kepada putra sulungnya yang bernama Garasakan (Jayengrana), dengan ibu kota di Kahuripan (Jiwana) meliputi daerah sekitar Surabaya sampai Pasuruan, dan Kerajaan Panjalu (Kediri) di sebelah barat diberikan kepada putra bungsunya yang bernama Samarawijaya (Jayawarsa), dengan ibu kota di Kediri (Daha), meliputi daerah sekitar Kediri dan Madiun.
Raja-raja yang memerintah di Kediri antara lain: Jayawarsa, Jayabaya, Sarwewara, Gandara, Kameswara, dan Kertajaya. Pada masa Jayabaya Kerajaan Kediri mencapai puncak kejayaannya. Pada prasasti Ngantang dijelaskan bahwa Raja Jayabaya memberikan hadiah kepada rakyat desa Ngantang berupa tanah perdikan. Hadiah diberikan kepada rakyat tersebut karena telah membantu raja ketika terjadi peperangan dengan Jenggala. Kerajaan Janggala hanya berusia sekitar satu abad karena ditaklukkan oleh Kerajaan Panjalu pada tahun 1135. Waktu itu raja Panjalu bernama Jayabaya (1130-1158). Selain dikenal sebagai raja yang mempersatukan kembali wilayah Airlangga, nama Jayabaya sering dikaitkan dengan ramalan-ramalan tentang nasib Pulau Jawa. Pada masa pemerintahan Jayabaya, pujangga Mpu Sedah dan Mpu Panuluh menulis Kakawin Bharatayudha yang menceritakan kemenangan Pandawa melawan Kurawa, sebagai bandingan terhadap kemenangan Panjalu atas Janggala.
Raja Panjalu yang terakhir adalah Kertajaya atau Dandang Gendis (1190-1222). Pada masa pemerintahannya, keadaan menjadi tidak stabil, terutama konflik antara raja dan kaum Brahmana. Konflik tersebut disebabkan oleh banyaknya kebijakan-kebijakan raja yang hendak mengurangi hak-hak kaum Brahmana. Konflik itu mencapai puncaknya dengan terjadinya peperangan antara Pasukan Kediri yang menyerang Tumapel yang terdiri dari rakyat Tumapel, kaum Brahmana yang dipimpin oleh Ken Angrok (dibaca: Ken Arok). Kerajaan ini pada tahun 1222 dikalahkan oleh Ken Angrok dari Singhasasri dalam pertempuran di Ganter. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan Kerajaan Panjalu (Kediri).

b. Kehidupan ekonomi
Mpu Sindok memerintah dengan bijaksana. Hal ini bisa dilihat dari usaha-usaha yang ia lakukan, seperti Mpu Sindok banyak membangun bendungan dan memberikan hadiah-hadiah tanah untuk pemeliharaan bangunan suci untuk meningkatkan kehidupan rakyatnya. Begitu pula pada masa pemerintahan Airlangga, ia berusaha memperbaiki Pelabuhan Hujung Galuh di muara Sungai Berantas dengan memberi tanggul-tanggul untuk mencegah banjir. Sementara itu dibidang sastra, pada masa pemerintahannya telah tercipta satu hasil karya sastra yang terkenal, yaitu karya Mpu Kanwa yang berhasil menyusun kitab Arjuna Wiwaha. Pada masa Kerajaan Kediri banyak informasi dari sumber kronik Cina yang menyatakan tentang Kediri yang menyebutkan Kediri banyak menghasilkan beras, perdagangan yang ramai di Kediri dengan barang yang diperdagangkan seperti emas, perak, gading, kayu cendana, dan pinang. Dari keterangan tersebut, kita dapat menilai bahwa masyarakat pada umumnya hidup dari pertanian dan perdagangan.

c. Kehidupan sosial-budaya
Dalam bidang toleransi dan sastra, Mpu Sindok mengi inkan penyusunan kitab Sanghyang Kamahayamikan (Kitab Suci Agama Buddha), padahal Mpu Sindok sendiri beragama Hindu. Pada masa pemerintahan Airlangga tercipta karya sastra Arjunawiwaha yang dikarang oleh Mpu Kanwa. Begitu pula seni wayang berkembang dengan baik, ceritanya diambil dari karya sastra Ramayana dan Mahabharata yang ditulis ulang dan dipadukan dengan budaya Jawa. Raja Airlangga merupakan raja yang peduli pada keadaan masyarakatnya. Hal itu terbukti dengan dibuatnya tanggul-tanggul dan waduk di beberapa bagian di Sungai Berantas untuk mengatasi masalah banjir. Pada masa Airlangga banyak dihasilkan karya-karya sastra, hal tersebut salah satunya disebabkan oleh kebijakan raja yang melindungi para seniman, sastrawan dan para pujangga, sehingga mereka dengan bebas dapat mengembangkan kreativitas yang mereka miliki.
Pada kronik-kronik Cina tercatat beberapa hal penting tentang Kediri yaitu:
1) Rakyat Kediri pada umumnya telah memiliki tempat tinggal yang baik, layak huni dan tertata dengan rapi, serta rakyat telah mampu untuk berpakaian dengan baik.
2) Hukuman di Kediri terdapat dua macam yaitu denda dan hukuman mati bagi perampok.
3) Kalau sakit rakyat tidak mencari obat, tetapi cukup dengan memuja para dewa.
6. Kerajaan Singhasari ( Singasari )
Sumber-sumber yang menyebutkan tentang kerajaan Singhasari antara lain prasasti Mulamalurung. Prasasti ini dikeluarkan oleh Wisnu Wardhana raja Singhasari yang isinya menyebutkan pemberian hadiah desa Dandea Malurung oleh Wisnu Wardhana kepada Pranaraja.
a. Kehidupan politik
Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa Ken Angrok atas perintah Berihiang menyerang Kediri pada tahun 1222, dan berhasil mengalahkan Kertajaya. Ken Angrok selanjutnya mendirikan kerajaan Singhasari pada tahun 1222 M (abad ke-13 M) dengan pusat pemerintahannya di sekitar Kota Malang (Jawa Timur).
Sesuai dengan kepercayaan masyarakat pada aman itu, dalam kitab Pararaton dikisahkan bahwa Ken Angrok adalah anak Dewa Brahma. Atas bantuan pendeta Lohgawe, Ken Angrok bekerja pada akuwu (bupati) Tumapel (Malang) yang bernama Tunggul Ametung. Tidak menutup kemungkinan, Ken Angrok itu ada hubungannya dengan Tunggul Ametung, Sebagaimana diketahui, ayah dari Ken Angrok masih dipertanyakan, yang ada hanya legenda tentang siapa ayah Ken Angrok. Ketika bekerja di sana, Ken Angrok menjalin hubungan asmara dengan istri muda Tunggul Ametung yang bernama Ken Dedes. Kemudian Ken Arok membunuh Tunggul Ametung, lalu menikahi Ken Dedes yang sedang hamil, dan sekaligus menjadi Akuwu Tumapel yang baru. Pada masa itu Tumapel merupakan daerah kekuasaan Kediri (Daha).
Raja Kertajaya berselisih dengan para pendeta (Brahmana), kemudian para Brahmana ini meminta perlindungan kepada Ken Angrok yang menjabat sebagai Akuwu di Tumapel. Kesempatan ini digunakan Ken Angrok untuk menggulingkan kekuasaan Kediri. Pada pertempuran di Ganter (1222), Kertajaya dapat dikalahkan. Seluruh wilayah bekas Kerajaan Kediri dikuasai. Di atas kekuasaannya ini, Ken Angrok menyatakan diri sebagai raja baru dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi. Nama Tumapel diganti menjadi Singhasari. Ken Angrok hanya memerintah lima tahun (1222-1227). Dari perkawinannya dengan Ken Dedes, Ken Angrok mempunyai empat orang anak yaitu: Mahisa Wongateleng, Panji Saprang, Agni Bhaya, dan Dewi Rimba. Kemudian dari perkawinannya dengan istri yang lain, yaitu Ken Umang, Ken Angrok mempunyai anak bernama Panji Tohjaya.
Pada tahun 1227 M, Ken Angrok dibunuh oleh seseorang atas perintah Anusapati. Anusapati ternyata anak Ken Dedes dari Tunggul Ametung atau anak tiri Ken Angrok. Setelah membunuh Ken Angrok, Anusapati menjadi raja Singhasari (1227-1248). Sepak terjang Anusapati ini didukung oleh Mahisa Wongateleng, anak Ken Dedes dari Ken Angrok. Dengan meninggalnya Ken Angrok, Tohjaya sebagai anak Ken Angrok dari Ken Umang ingin membalas kematian ayahnya. Untuk itu, pada tahun 1248, Anusapati dibunuh oleh Tohjaya. Dengan terbunuhnya Anusapati, Panji Tohjaya naik takhta menjadi Raja Singhasari. Pada masa pemerintahannya terjadi pemberontakan yang dilakukan Anusapati M.W.Ateleng Panji Saprang Aghni Bhaya Dewi Rimba Tonjaya Sudata Tuan Wregolo Dewi Ramai Seminingrat/Ranggawuni Mahesa Cempaka Syah Lembutal Raden Wijaya Kertanegara50 oleh Ranggawuni serta Mahisa Campaka (anak Mahisa Wongateleng). Panji Tohjaya berhasil melarikan diri, tetapi ia meninggal di Katang Lumbang. Ranggawuni memberontak karena yang berhak atas kerajaan sepeninggal Anusapati adalah Waninghyun, yaitu istrinya. Dengan jatuhnya Tohjaya, maka Kerajaan Kediri yang dulunya merupakan bawahan Singhasari berhasil disatukan oleh Ranggawuni.
Ranggawuni memerintah Singhasari dari tahun1248-1268. Ia bergelar Sri Jaya Wisnuwardhana. Dalam menjalankan pemerintahannya, ia didampingi oleh Mahisa Campaka (yang membantu Ranggawuni memberontak pada Panji Tohjaya) yang berkedudukan sebagai perdana menteri dengan gelar Narasingamurti. Pada tahun 1268 M, Raja Wisnuwardhana meninggal.
Sepeninggal Wisnuwardhana, tampuk pemerintahan kerajaan dipegang oleh putranya yang bernama Kertanegara. Selanjutnya Kertanegara menjadi raja Singhasari (1268-1292). Dalam bidang politik, Kertanegara terkenal sebagai seorang raja yang mempunyai gagasan untuk meluaskan kekuasaannya meliputi seluruh wilayah Nusantara. Hal itu tampak, ketika pada tahun 1275 M mengirimkan tentaranya ke Melayu. Ekspedisi itu dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu. Adapun tujuan ekspedisi ini adalah untuk memperluas kekuasaannya di luar Jawa yaitu termasuk Melayu dan Sriwijaya. Ekspedisi ini merupakan penjabaran dari pelaksanaan politik luar negeri Kerajaan Singhasari dalam rangka menahan serbuan tentara Mongol dibawah pimpinan Kaisar Kubhilai Khan yang sedang melakukan perluasan wilayah di Asia Tenggara. Pada tahun 1280 dan 1281, datang utusan Kubhilai Khan ke Singhasari untuk meminta Singhasari tunduk dan takluk pada Kubhilai Khan.
Akan tetapi perintah Kaisar Kubhilai Khan itu ditolak oleh Kertanegara dengan melakukan penghinaan diplomatik (merusak muka Meng Chi, utusan dari Kubhilai Khan). Kubhilai Khan sangat marah melihat tindakan Kertanegara kepada utusannya. Ia lalu mengirimkan pasukannya ke Jawa untuk menyerang Singhasari, sekaligus menghukum Kertanegara. Keinginan Kubhilai Khan untuk menyerang Kerajaan Singhasari tidak terlaksana, karena pasukan Kubhilai Khan baru tiba di Singhasari pada tahun 1293 M, sementara Raja Kertanegara yang dicari-cari telah meninggal pada tahun 1292 M akibat serangan dari Jayakatwang (keturunan raja Kediri). Menurut kitab Pararaton, serangan Jayakatwang dilakukan pada bulan Mei dan Juni tahun 1292. Pasukan Singhasari yang pada saat itu dipimpin oleh menantu Kertanegara dan cucu Mahisa Cempaka, Raden Wijaya, berhasil dipancing pasukan Jayakatwang keluar dari keraton. Pasukan Jayakatwang berhasil masuk ke keraton dan membunuh Raja Kertanegara serta para pembesar keraton. Dengan meninggalnya Raja Kertanegara, berakhirlah Kerajaan Singhasari.
Menurut Prasasti Kudadu, setelah terbunuhnya Kertanegara, Raden Wijaya dan keempat istrinya serta beberapa pengikutnya menyelamatkan diri dengan menyeberang ke Madura. Di Madura, mereka diterima oleh Bupati Sumenep, Arya Wiraraja.
Raden Wijaya menyerang balik Jayakatwang, dengan memanfaatkan pasukan Kubhilai Khan yang mendarat di Tuban yang bertujuan membalas penghinaan Kertanegara terhadap utusan Kubhilai Khan. Ia berhasil meyakinkan pasukan Cina bahwa Raden Wijaya mau mengakui kedaulatan Kubhilai Khan, pasukan Cina bersedia bergabung dengan pasukan Raden Wijaya untuk menghancurkan pasukan Jayakatwang. Bersama-sama dengan pasukan Kubhilai Khan, Raden Wijaya berhasil mengalahkan Jayakatwang. Jayakatwang sendiri ditawan oleh pasukan Mongol dan dibawa ke markas mereka di Ujung Galuh. Di tempat itu, Jayakatwang akhirnya dibunuh. Setelah sukses menghancurkan Jayakatwang, Raden Wijaya berbalik menyerang dan memukul mundur tentara Mongol di Daha dan Canggu. Akibat serangan ini, lebih dari 3000 tentara Mongol tewas dan sisanya melarikan diri dari Jawa untuk kembali ke negerinya.

b. Kehidupan ekonomi
Letak kerajaan Singhasari di tepi sungai Bengawan Solo. Hal ini memberikan kesimpulan bahwa masyarakatnya aktif dalam kegiatan perekonomian pelayaran. Selain itu, dengan suburnya bumi Jawa, maka sektor pertanian pun menjadi bagian dari aspek perekonomian yang maju di Singhasari beserta hasil buminya. Ekspedisi Pamalayu yang dilakukan oleh Kertanegara merupakan salah satu bukti bahwa negara berusaha meningkatkan kehidupan ekonominya dengan menguasai jalur perdagangan yang strategis.

c. Kehidupan sosial-budaya
Beberapa Raja Singhasari sangat memperhatikan kehidupan sosial rakyatnya, termasuk Ken Angrok. Jadi, wajar jika para Brahamana banyak meminta perlindungan ketika bersengketa dengan Raja Kediri. Namun, pada masa Anusapati, raja itu sibuk dengan kehidupan pribadinya, sehingga kehidupan sosial masyarakatnya banyak yang terabaikan. Pada masa pemerintahan Wishnuwardana, kehidupan sosial masyarakat kembali diperhatikan.
7. Kerajaan Majapahit
Berbicara tentang Kerajaan Majapahit berarti berbicara tentang sebuah puncak kejayaan dari peradaban Hindu-Buddha yang pernah hidup di Indonesia. Kerajaan Majapahit disebut sebagai kerajaan nasional Indonesia yang ke dua. Hal tersebut disebabkan oleh upaya yang besar dari kerajaan ini untuk mewujudkan suatu cita-cita yaitu penyatuan Nusantara. Dalam perjalanan Sejarah, upaya integrasi wilayah kepulauan Nusantara memang tidak sepenuhnya berlangsung dengan mulus dan dilakukakan dengan cara Ksatria. Peristiwa bubat yang disusul dengan perpecahan internal didalam tubuh majapahit sendiri menyebabkan cita-cita penyatuan tidak sepenuhnya dapat dilakukan. Meskipun demikian, pada amannya, Majapahit merupakan kerajaan yang mempunyai wibawa dan kekuatan yang besar, sehingga kerajaan lain harus berpikir ratusan kali untuk membelot atau memberontak terhadap kekuasaan yang ada.
a. Kehidupan politik
Berdirinya Kerajaan Majapahit sangat berhubungan dengan runtuhnya Kerajaan Singhasari. Sebagaimana yang kita pelajari sebelumnya, kerajaan Singhasari runtuh setelah salah satu raja vasalnya yaitu Jayakatwang mengadakan pemberontakan. Kerajaan Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya yang merupakan menantu dari Raja Singhasari terakhir, Kertanegara. Raden Wijaya beserta istri dan pengikutnya dapat meloloskan diri ketika Singhasari diserang Jayakatwang. Raden Wijaya meloloskan diri dan pergi ke Madura untuk menemui dan meminta perlindungan Bupati Sumenep dari Madura yaitu Aryawiraraja. Berkat Aryawiraraja juga, Raden Wijaya mendapat pengampunan dari Jayakatwang, bahkan Raden Wijaya sendiri diberi tanah di hutan Tarik dekat Mojokerto yang kemudian daerah itu dijadikan sebagai tempat berdirinya kerajaan Majapahit. Raden Wijaya kemudian menyusun kekuatan di Majapahit dan mencari saat yang tepat untuk menyerang balik Jayakatwang. Untuk itu, dia mencoba mencari dukungan kekuatan dari raja-raja yang masih setia pada Singhasari atau raja yang kurang senang pada Jayakatwang.
Kesempatan untuk menghancurkan Jayakatwang akhirnya muncul setelah tentara Mongol mendarat di Jawa untuk menyerang Kertanegara. Keadaan seperti ini dimanfaatkan oleh Raden Wijaya dengan cara memperalat mereka untuk menyerang Jayakatwang. Raden Wijaya bersama-sama dengan pasukan Kubhilai Khan berhasil mengalahkan pasukan Jayakatwang. Begitu pula Jayakatwang berhasil ditangkap dan lalu dibunuh oleh pasukan Kubhilai Khan.
Setelah Jayakatwang terbunuh, lalu Raden Wijaya melakukan serangan balik terhadap pasukan Kubhilai Khan. Raden Wijaya berhasil memukul mundur pasukan Kubhilai Khan, sehingga mereka terpaksa menyelamatkan diri keluar Jawa. Setelah berhasil mengusir pasukan Kubhilai Khan, Raden Wijaya dinobatkan menjadi raja Majapahit pada tahun 1293 M dengan gelar Sri Kertarajasa Jayawardhana.
Sebagai seorang raja yang besar, Raden Wijaya memperistri empat putri Kertanegara sebagai permaisurinya. Dari Tribuana, ia mempunyai seorang putra yang bernama Jayanegara, sedangkan dari Gayatri, Raden Wijaya mempunyai dua orang putri, yaitu Tribuanatunggadewi dan Rajadewi Maharajasa.
Para pengikut Raden Wijaya yang setia dan berjasa dalam mendirikan kerajaan Majapahit, diberi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan. Tetapi ada saja yang tidak puas dengan kedudukan yang diperolehnya. Hal ini menimbulkan pemberontakan di sana-sini. Pada tahun 1309 M, Raden Wijaya meninggal dunia dan didarmakan di Antahpura, dekat Blitar. Setelah Raden Wijaya meninggal dunia, Kerajaan Majapahit dipimpin oleh Jayanegara dengan gelar Sri Jayanegara.
Pada masa pemerintahannya, Jayanegara dirongrong oleh serentetan pemberontakan. Pemberontakan-pemberontakan ini datang dari Ranggalawe (1309), Lembu Sora (1311), Juru Demung dan Gajah Biru (1314), Nambi (1316), dan Kuti (1320).
Pemberontakan Kuti merupakan pemberontakan yang paling berbahaya karena Kuti berhasil menduduki ibu kota Majapahit, sehingga raja Jayanegara terpaksa melarikan diri ke daerah Badandea. Jayanegara diselamatkan oleh pasukan Bhayangkari di bawah pimpinan Gajah Mada. Berkat ketangkasan dan siasat jitu dari Gajah Mada, pemberontakan Kuti berhasil ditumpas. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Gajah Mada diangkat menjadi Patih di Kahuripan pada tahun 1321 M dan Patih di Daha (Kediri).
Pada tahun 1328, Jayanegara tewas dibunuh oleh Tabib Israna Ratanca, ia didharmakan di dalam pura di Sila Petak dan Bubat. Jayanegara tidak mempunyai putra, maka takhta kerajaan digantikan oleh adik perempuannya yang bernama Tribhuanatunggadewi. Ia dinobatkan menjadi raja Majapahit dengan gelar Tribhuanatunggadewi Jaya Wisnu Wardhani. Pada masa pemerintahannya, terjadi pemberontakan Sadeng dan Keta pada tahun 1331. Pemberontakan ini dapat dipadamkan oleh Gajah Mada. Sebagai penghargaan atas jasanya, Gajah Mada diangkat menjadi mahapatih di Majapahit oleh Tribhuanatunggadewi.
Di hadapan raja dan para pembesar Majapahit, Gajah Mada mengucapkan sumpah yang terkenal dengan nama Sumpah Palapa. Isi sumpahnya, ia tidak akan Amukti Palapa sebelum ia dapat menundukkan Nusantara, yaitu Gurun, Seran, Panjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik.
Dalam rangka mewujudkan cita-citanya, Gajah Mada menaklukkan Bali pada tahun 1334, kemudian Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Sumatra, dan beberapa daerah di Semenanjung Malaka. Seperti yang tercantum dalam kitab Negarakertagama, wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit sangat luas, yakni meliputi daerah hampir seluas wilayah Republik Indonesia sekarang. Tribhuanatunggadewi memerintah selama dua puluh dua tahun. Pada tahun 1350, ia mengundurkan diri dari pemerintahan dan digantikan oleh putranya yang bernama Hayam Wuruk. Pada tahun 1350 M, putra mahkota Hayam Wuruk dinobatkan menjadi raja Majapahit dengan gelar Sri Rajasanagara dan ia didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada. Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Wilayah kekuasaan Majapahit meliputi seluruh Nusantara. Pada saat itulah cita-cita Gajah Mada dengan Sumpah Palapa berhasil diwujudkan. Usaha Gajah Mada dalam melaksanakan politiknya, berakhir pada tahun 1357 dengan terjadinya peristiwa di Bubat, yaitu perang antara Pajajaran dengan Majapahit. Pada waktu itu, Hayam Wuruk bermaksud untuk menikahi putri Dyah Pitaloka. Sebelum putri Dyah Pitaloka dan ayahnya beserta para pembesar Kerajaan Pajajaran sampai di Majapahit, mereka beristirahat di lapangan Bubat. Di sana terjadi perselisihan antara Gajah Mada yang menghendaki agar putri itu dipersembahkan oleh raja Pajajaran kepada raja Majapahit. Para pembesar Kerajaan Pajajaran tidak setuju, akhirnya terjadilah peperangan di Bubat yang menyebabkan semua rombongan Kerajaan Pajajaran gugur.
Pada tahun 1364 M, Gajah Mada meninggal dunia. Hal itu merupakan kehilangan yang sangat besar bagi Majapahit. Kemudian pada tahun 1389 Raja Hayam Wuruk meninggal dunia. Hal ini menjadi salah satu penyebab surutnya kebesaran Kerajaan Majapahit di samping terjadinya pertentangan yang berkembang menjadi perang saudara.
Setelah Hayam Wuruk meninggal, takhta Kerajaan Majapahit diduduki oleh Wikramawardhana. Ia adalah menantu Hayam Wuruk yang menikah dengan putrinya yang bernama Kusumawardhani. Ia memerintah Kerajaan Majapahit selama dua belas tahun.
Pada tahun 1401 mulai timbul persengketaan antara Wikramawardhana dengan Bhre Wirabhumi. Bhre Wirabhumi adalah anak Hayam Wuruk dari istri selirnya. Kemudian meletuslah perang saudara, yang dikenal dengan nama Perang Paregreg, yang berhasil dimenangkan oleh Wikramawardhana. Tetapi, pertentangan antarkeluarga ini belum reda dan menimbulkan perasaan balas dendam.
Pada tahun 1429 M, Wikramawardhana meninggal dunia. Selanjutnya raja-raja yang memerintah Majapahit setelah Wikramawardhana adalah:
a. Suhita (1429 M 1447 M), putri Wikramawardhana;
b. Kertawijaya (1448 M 1451 M), adik Suhita;
c. Sri Rajasawardhana (1451 M 1453 M);
d. Girindrawardhana (1456 M 1466 M), anak dari Kertawijaya;
e. Sri Singhawikramawardhana (1466 M 1474 M);
f. Girindrawardhana Dyah Ranawijaya.
Raja Majapahit yang terakhir ialah Girindrawardhana Dyah Ranawijaya. Runtuhnya Kerajaan Majapahit pada tahun 1400 Saka (1478 M) dijelaskan dalam Chandra Sengkala yang berbunyi, “Sirna ilang Kertaning-Bhumi” dengan adanya peristiwa perang saudara antara Dyah Ranawijaya dengan Bhre Kahuripan. Selain itu, keruntuhan Majapahit disebabkan karena serangan dari Kerajaan Islam Demak. Antara tahun 1518 dan 1521, kekuasaan Kerajaan Majapahit telah beralih dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus penguasa dari Demak. Demikianlah riwayat dari Kerajaan Majapahit yang merupakan suatu kerajaan besar di Nusantara.

b. Kehidupan ekonomi
Di bidang ekonomi, Hayam Wuruk menaruh perhatian pada pertanian dan perdagangan dengan menjadikan Tuban sebagai salah satu pusat perdagangan Majapahit. Berdasarkan berita Cina bernama Wng Ta-Yuan yang menggambarkan pulau Jawa yang padat penduduknya, tanahnya subur dan banyak menghasilkan padi, lada, garam, kain, dan burung kakatua yang semuanya merupakan barang ekspor. Hayam Wuruk berusaha untuk menyejahterakan rakyatnya dengan membuat saluran pengairan, pembuatan bendungan, dan pembukaan tanah baru untuk perladangan.

c. Kehidupan sosial-budaya
Di bidang sosial-budaya, Hayam Wuruk berhasil membangun candi, antara lain Candi Panataran, Candi Tegalwangi, Candi Sumber Jati, dan bangunan lainnya di daerah Trowulan (Mojokerto) yang menjadi pusat pemerintahan Majapahit. Selain membangun candi, dihasilkan juga pada masa kekuasaannya beberapa hasil karya kesusastraan seperti naskah Negarakertagama, Sutasoma, Arjuna Wijaya, dan sebagainya. Dalam naskah Sutasoma terdapat istilah “Bhinneka Tunggal Ika” yang sekarang menjadi motto negara Indonesia untuk menyatukan persatuan dan kesatuan bangsa.
8. Kerajaan Sunda
Berita tentang kerajaan Hindu-Buddha di Jawa Barat setelah kerajaan Tarumanegara terdapat dalam naskah Carita Parahyangan, sebuah sumber berbahasa Sunda Kuno yang ditulis sekitar abad ke-19. Kerajaan Sunda yang berada di Jawa Barat dan Jawa Tengah bagian barat merupakan kerajaan yang bercorak Hindu cukup kuat dan sedikit menerima pengaruh Buddha. Dalam Carita Parahyangan diceritakan bahwa Sanjaya adalah anak dari Sena yang berkuasa di Galuh. Sanjaya disebut sebagai menantu raja Sunda yang bernama Tarusbawa, dan bergelar Tohaan di Sunda.
Pada suatu saat terjadi perebutan kekuasaan oleh Rahyang Purbasora, saudara seibu dari raja Sena. Kemudian Sena dibuang ke Gunung Merapi oleh keluarganya. Setelah dewasa, Sanjaya mencari perlindungan kepada saudara tua ayahnya. Sanjaya kemudian dapat mengalahkan Rahyang Purbasora dan kemudian diangkat menjadi raja Galuh.
Dalam Carita Parahyangan juga disebutkan bahwa Raja Sanjaya berhasil memperluas wilayah kekuasaannya dengan cara menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil bernama Manunggul, Kahuripan, Kadul, Balitar, Malayu, Kemir, Keling, Barus, dan Cina. Kerajaan-kerajaan tersebut diperkirakan terletak di Jawa Barat bagian timur dan Jawa Tengah bagian barat menjadi bagian dari kerajaan Galuh.
Hal yang menarik dari isi Carita Parahyangan ini adalah nama Sena dan Sanjaya. Dua nama ini tercantum juga dalam prasati Canggal (732 M), yang menceritakan asal usul raja pertama dari dinasti Sanjaya di Kerajaan Mataram Lama. Dalam prasasti Canggal selain tercantum nama Sanjaya disebutkan juga adanya dua tokoh yaitu, Sanna dan Sanaha. Sanjaya adalah anak Sanaha. Membandingkan isi Carita Parahyangan dengan prasasti Canggal, kemungkinan Sanjaya adalah orang yang sama, sedangkan Sanaha dalam prasasti Canggal, kemungkinan Sena dalam Carita Parahyangan. Dengan demikian, di Jawa Barat pada masa itu ada kerajaan yang berpusat di Galuh dengan rajanya Sanjaya.
Prasasti Sahyang Tapak (1030), merupakan sumber lain yang menyebutkan adanya kerajaan di Jawa Barat. Prasasti ini ditemukan di tepian Sungai Citatih, Cibadak, Sukabumi dan berbahasa Jawa Kuno, berhuruf kawi. Dalam prasasti ini disebutkan tentang adanya raja yang bernama Sri Jayabhupati Jayamanahen, Wisnumurti amararijaya, Sakalabhuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramatunggadewa. Raja ini dianggap sebagai rangkaian dari raja-raja Sunda sebelumnya. Sri Jayabhupati adalah raja Sunda yang memiliki kekuasaannya di Pakuan Pajajaran. Dia beragama Hindu aliran Waisnawa. Hal ini dapat terlihat dari gelarnya Wisnumurti. Diperkirakan, pusat kerajaan Sunda dipindahkan dari Galuh ke Pakuan Pajajaran di Jawa Barat bagian tengah. Setelah raja Jayabhupati wafat, ibu kota kerajaan dipindahkan lagi ke Kawali (Ciamis).
Pusat kerajaan pindah ke Kawali, pada masa Raja Rahyang Niskala Wastu Kencana yang menggantikan Sri Jayabhupati. Ia mendirikan keraton Surawisesa, membuat saluran air di sekeliling keraton, dan membangun desa-desa untuk kepentingan rakyatnya. Rahyang Niskala Wastu Kencana dimakamkan di Nusalarang, sedangkan penggantinya Rahyang Dewa Niskala (Rahyang Ningrat Kancana) dimakamkan di Gunung Tiga.
Menurut Kitab Pararaton dan Carita Parahyangan, Rahyang Dewa Niskala digantikan oleh Sri Baduga Maharaja. Raja ini meninggal setelah tujuh tahun memerintah karena tewas dalam peristiwa Bubat pada tahun 1357, setelah Sri Baduga menolak mengakui kedaulatan Majapahit. Setelah Sri Baduga, kerajaan Sunda selanjutnya diperintah oleh, Hyang Bunisora (1357-1371), Prabu Niskala Wastu Kencana (1371-1374), digantikan oleh anaknya Tohaan di Galuh (1475-1482), Ratu Jayadewata (1482-1521).
Pada masa pemerintahan Ratu Jayadewata yang menurut prasasti Batutulis memerintah di ibu kota lama Pakuan Pajajaran, Kerajaan Sunda mulai terancam oleh orang-orang yang tidak setia pada kerajaan. Mereka adalah penduduk pajajaran yang mulai menganut Islam, terutama yang tinggal di pesisir utara. Banten dan Cirebon telah berubah menjadi pelabuhan yang dikuasai oleh orang Islam. Merasa khawatir dengan perkembangan baru di pesisir utara, Ratu Jayadewata mengutus Ratu Samiam ke Malaka untuk meminta bantuan pasukan Portugis memerangi orang-orang Islam. Hal ini ditegaskan dalam berita Portugis bahwa pada tahun 1512 dan 1521 datang utusan dari kerajaan Sunda yang dipimpin oleh Ratu Samiam. Ratu Samiam dalam berita Portugis ini sama dengan Prabu Surawisesa dalam Carita Parahyangan. Prabu Surawisesa menjadi raja dan memerintah tahun 1521-1535.

a. Kehidupan politik
Sumber sejarah yang penting dalam sejarah tatar sunda adalah Carita Parahyangan yang merupakan sumber yang berbahasa Sunda Kuno yang ditulis sekitar abad ke-19. Di dalam carita parahyangan ini diceritakan bahwa Sanjaya adalah anak dari Sena yang berkuasa di Galuh. Sanjaya disebutkan pula sebagai menantu raja Sunda yang bernama Tarusbawa, dan bergelar Tohaan di Sunda (yang dipertuan di Sunda). Diceritakan pula bahwa pada suatu saat terjadi perebutan kekuasaan oleh Rahyang Purbasora, saudara seibu dari Raja Sena. Kemudian Sena dibuang ke Gunung Merapi oleh keluarganya. Namun setelah dewasa, Sanjaya mencari perlindungan kepada saudara tua ayahnya. Sanjaya kemudian dapat mengalahkan Rahyang Purbasora dan kemudian diangkat menjadi raja Galuh. Kerajaan ini terletak di sebelah barat sungai Citarum.
Pada sumber prasasti yang ditemukan di Sukabumi, tercantum nama Sri Jayabuphati yang merupakan salah satu raja Sunda. Jayabhupati adalah Raja Sunda yang beragama Hindu dan pusat kekuasaannya terletak di Pakuan Pajajaran. Penggantinya yaitu Rahyang Niskala Wastu Kencana memindahkan kerajaannya ke Kawali (Ciamis sekarang) dia tinggal di keraton yang bernama Surawisesa. Rahyang Ningrat mengantikan ayahnya yaitu Rahyang Niskala Wastu Kencana yang dilanjutkan kemudian oleh Sri Baduga. Pada masa Sri Baduga terjadi peristiwa besar yaitu perang Bubat yang membuat beliau, putrinya, serta utusan yang ikut serta ke Majapahit tewas. Dengan meninggalnya Sri Baduga, maka pemerintahan dipegang oleh Hyang Bunisora (1357-1371). Bunisora digantikan oleh Prabu Niskala Wastu Kencana yang memerintah hampir 100 tahun lamanya yaitu dari (1371-1474).
Pada masa kerajaan Sunda diperintah oleh Prabu Surawisesa, agama Islam mulai berkembang di Cirebon dan Banten. Hal tersebut membuat Prabu berusaha mencari sekutu untuk memperkuat kedudukannya melawan Islam.60 Kemudian dia bersekutu dengan Portugis yang sudah berhasil menguasai Malaka. Tindakan tersebut membuat kerajaan Demak di bawah Sultan Trenggono harus mengambil tindakan untuk menghentikan pengaruh Portugis di Jawa. Oleh karena itu, beliau memerintahkan menantunya yaitu Fatahillah atau dipanggil juga Wong Agung untuk menyerang Portugis di Sunda Kalapa dan menguasai pelabuhan tersebut. Hal itu akan berdampak politik, karena akan semakin membuat Kerajaan Sunda menjadi terisolir dan menghambat atau mungkin menghancurkan kekuatan Portugis yang hendak menguasai Jawa. Sebelum menguasai Sunda Kalapa, pasukan Demak dan Banten mulai menaklukkan daerah-daerah sekitar Banten dan Sunda Kalapa. Pada pertempuran di Sunda Kalapa antara Demak dan Portugis, Pasukan Fatahillah berhasil menghancurkan Portugis. Lalu, Fatahillah mengubah kota Sunda Kalapa menjadi Jayakarta. Pada masa Raja Nuisya Mulya, Kerajaan Sunda jatuh ke tangan tentara Islam, sehingga berakhirlah Kerajaan Sunda, sebuah kerajaan yang besar, sampai Majapahit pun sulit dan tidak bisa untuk menaklukannya.

b. Kehidupan ekonomi dan sosial budaya
Berdasarkan berita yang diperoleh dari bangsa Portugis, kehidupan ekonomi masyarakat di Kerajaan Sunda dapat digambarkan. Menurut berita tersebut, ibu kota Kerajaan Sunda terletak di pedalaman, sejauh dua perjalanan dari pesisir pantai utara. Para pedagang dari kerajaan Sunda sudah mampu melakukan transaksi perdagangan dengan pedagang asing dari kerajaan-kerajaan lain, seperti Malaka, Sumatra, Jawa Tengah dan Timur, Makassar. Kegiatan perdagangan antarpulau itu didukung oleh pelabuhan-pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda yaitu Kelapa, Banten, Pontang, Cigede. Dengan demikian, kegiatan perekonomian pada sektor perdagangan di Kerajaan Sunda cukup maju. Komoditas yang diperdagangkan antara lain: lada, beras, hewan ternak, sayuran, buah-buahan. Untuk mendukung dan kelancaran perdagangan dari pesisir ke pedalaman, maka dibangunlah jalan yang baik. Selain sektor perdagangan, Kerajaan Sunda pun mengembangkan sektor pertanian yaitu berladang. Watak masyarakat Sunda yang senang berpindah-pindah terlihat dari kegiatan berladang mereka. Tidak heran jika ibu kota Kerajaan Sunda sering berpindah-pindah, hal itu juga dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakatnya yang senang berpindah-pindah.
Berdasarkan naskah Sahyang Siksakanda ng Karesian, susunan masyarakat terbagi ke dalam berbagai kelompok ekonomi yaitu: pandai besi, pahuma, penggembala, pemungut pajak, mantri, bhayangkara dan prajurit, kelompok rohani dan cendkiawan, maling, begal, dan copet.
9. Kerajaan Bali
a. Kehidupan politik
Nama Bali sudah lama dikenal dalam beberapa sumber kuno. Dalam berita Cina abad ke-7 disebut adanya nama daerah yang bernama Dwa-pa-tan, yang terletak di sebelah timur Kerajaan Holing (Jawa). Menurut para ahli nama Dwa-pa-tan ini sama dengan Bali. Adat istiadat penduduk Dwa-pa-tan ini sama dengan di Holing, yaitu setiap bulan padi sudah dipetik, penduduknya menulis dengan daun lontar, orang yang meninggal dihiasi dengan emas, dan ke dalam mulutnya dimasukkan sepotong emas serta diberi harum-haruman, kemudian mayat itu dibakar.
Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan, pengaruh Buddha datang terlebih dahulu dibandingkan dengan pengaruh Hindu. Prasasti yang berangka tahun 882 M, menggunakan bahasa Bali menerangkan tentang pemberian i in kepada para biksu untuk mendirikan pertapaan di Bukit Cintamani. Pengaruh Hindu di Bali berasal dari Jawa Timur, ketika Bali berada di bawah kekuasaan Majapahit. Ketika Majapahit runtuh, ada sebagian penduduk yang melarikan diri ke Bali, sehingga banyak penduduk Bali sekarang yang menganggap dirinya keturunan dari Majapahit.
Prasasti yang menceritakan raja yang berkuasa di Bali ditemukan di desa Blanjong, dekat Sanur. Dalam prasasti ini disebutkan bahwa raja yang bernama Khesari Warmadewa, istananya terletak di Sanghadwala. Prasasti ini ditulis dengan huruf Nagari (India) dan sebagian lagi berhuruf Bali Kuno, tetapi berbahasa Sanskerta. Prasasti ini berangka tahun 914 M (836 saka), dalam Candrasengkala berbunyi Khecara-wahni-murti.
Raja selanjutnya yang berkuasa adalah adalah Ugrasena pada tahun 915 M. Ugrasena digantikan oleh Tabanendra Warmadewa (955-967 M). Tabanendra kemudian digantikan oleh Jayasingha Warmadewa, ia membangun dua buah pemandian di desa Manukraya. Pemandian ini merupakan sumber air yang dianggap suci. Jayasingha kemudian digantikan oleh Jayasadhu Warmadewa yang memerintah dari tahun 975-983 M. Tidak banyak berita yang menceritakan masa kekuasaannya.
Jayasadhu digantikan oleh adiknya Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi, seorang raja perempuan. Ia kemudian digantikan oleh Dharmodayana yang terkenal dengan nama Udayana yang naik takhta pada tahun 989 M.
Dharmodayana memerintah bersama permaisurinya bernama Gunapriyadharmapadmi, anak dari raja Makutawangsawardhana dari Jawa Timur.
Gunapriyadharmapadmi meninggal pada tahun 1001 M dan dicandikan di Burwan. Udayana memerintah sampai tahun 1011 M. Pada tahun itu, ia meninggal dan dicandikan di Banu Weka. Pernikahannya dengan Gunapriya menghasilkan tiga orang putra yaitu, Airlangga yang menikah dengan putri Dharmawangsa (raja Jawa Timur), Marakata, dan Anak Wungsu.
Airlangga tidak memerintah di Bali, ia menjadi raja di Jawa Timur. Anak Udayana yang memerintah di Bali, yaitu Marakata memerintah dari tahun 1011-1022, ia bergelar Dharmawangsawardhana Marakata Pangkajasthana Uttuganggadewa. Masa pemerintahan Marakata bersamaan dengan masa pemerintahan Airlangga di Jawa Timur. Marakata adalah raja yang sangat memperhatikan kehidupan rakyatnya, sehingga ia dicintai dan dihormati oleh rakyatnya. Untuk kepentingan peribadatan, ia membangun prasada atau bangunan suci di Gunung Kawi daerah Tampak Siring, Bali. Marakata digantikan oleh adiknya Anak Wungsu, yang memerintah dari tahun 1049-1077. Pada masa pemerintahannya, keadaan negeri sangat aman dan tenteram. Rakyat hidup dengan bercocok tanam, seperti padi gaga, kelapa, enau, pinang, bambu, dan kemiri. Selain itu, rakyat juga memelihara binatang seperti kerbau, kambing, lembu, babi, bebek, kuda, ayam, dan anjing. Anak Wungsu tidak memiliki anak dari permaisurinya. Ia meninggal pada tahun 1077 M dan didharmakan di gunung Kawi dekat Tampak Siring.
Beberapa raja yang memerintah Kerajaan Bali setelah Anak Wungsu, diantaranya Sri Maharaja Sri Walaprahu, Sri Maharaja Sri Sakalendukirana, Sri Suradhipa, Sri Jayasakti, Ragajaya, dan yang lain sampai pada Paduka Bhatara Sri Asta Asura Ratna sebagai raja terakhir Bali. Sebab pada tahun 1430 M, Bali ditaklukkan oleh Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit. Sejak Bali ditaklukkan oleh Majapahit, kerajaan di Bali diperintah oleh raja-raja yang berasal dari keturunan Jawa (Jawa Timur). Oleh karena itu, raja-raja yang memerintah selanjutnya menganggap dirinya sebagai Wong Majapahit artinya keturunan Majapahit.

2. Kehidupan ekonomi
Kehidupan ekonomi yang berkembang di Bali adalah sektor pertanian. Hal itu dapat dibuktikan dengan kata-kata yang terdapat dalam berbagai prasasti yang menunjukkan usaha dalam sektor pertanian, seperti suwah, parlak (sawah kering), gaga (ladang), kebwan (kebun), dan kaswakas (pengairan sawah).

3. Kehidupan sosial budaya
Struktur masyarakat Bali dibagi ke dalam empat kasta, yaitu Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Tetapi pembagian kasta ini tidak seketat seperti di India. Begitu pula dalam pemberian nama awal pada anak-anak di lingkungan masyarakat Bali memiliki cara yang khas, yaitu:
a. Wayan untuk anak pertama;
b. Made untuk anak kedua;
c. Nyoman untuk anak ketiga;
d. Ketut untuk anak keempat.
Tetapi ada juga nama Putu untuk panggilan anak pertama dari kasta Brahmana dan Ksatria.

4. Kepercayaan
Masyarakat Bali banyak mendapat pengaruh dari kebudayaan India, terutama Hindu. Sampai sekarang, masyarakat Bali masih banyak yang menganut agama Hindu. Namun demikian, agama Hindu yang mereka anut telah bercampur dengan budaya masyarakat asli Bali sebelum Hindu. Masyarakat Bali sebelum Hindu merupakan kelompok masyarakat yang terikat oleh hubungan keluarga dan memuja roh-roh nenek moyang yang mereka anggap dapat menolong dan melindungi kehidupan keluarga yang masih hidup. Melalui proses sinkretisme ini, lahirlah agama Hindu Bali yang bernama Hindu Dharma.

Komentar

Postingan Populer